Arsip

Kepemimpinan Transformasional

Kemampuan transformasional di lembaga persekolahan masih jarang diterapkan dan dilakukan kajian. Meskipun kajian kepemimpinan transformasional bukan merupakan suatu hal yang sepenuhnya baru, kebanyakan para pengarang dan peneliti masih berkutat pada teori-teori lama yang menonjolkan beberapa gaya kepemimpinan, seperti gaya kepemimpinan autokratis, demokratis, otoriter, situasional dan lain-lain.
Kepemimpinan transforamsional terlihat pada tiga hal, yaitu: (1) membantu staf mengembangkan dan memelihara kolaborasi; (2) budaya organisasi profesional, dan (3) membantu mengembangkan guru dan membantu mereka mengatasi masalah secara efektif. Empat hal yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional adalah pengaruh idealis, motivasi inspirasi, stimulasi, intelektual, dan pertimbangan individu (Bush & Coleman, 2000).
Dalam bidang pendidikan, seiring dengan upaya pembaharuan yang dilakukan, maka bentuk kepemimpinan dipandang penting untuk diformulasikan. Teori kepemimpinan seperti yang telah berkembang selama ini termasuk dalam model kepemimpinan transaksonal. Kepemimpinan transaksional ditandai dengan pemimpin yang memandu atau memotivasi bawahannya mengarah pada pencapaian tujuan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Menurut Bass sebagaimana dikutip oleh Blandford mencatat bahwa pemimpin-pemimpin transaksional “berusaha untuk mempertimbangkan cara untuk menggantikan suatu tujuan dengan tujuan lain, bagaimana mengurangi resistensi terhadap tindakan-tindakan tertentu, dan bagaimana mengimplementasikan keputusan-keputusan.
Seiring dengan tuntutan iklim kerja, sedikit demi sedikit terjadi pergeseran pendekatan kepemimpinan, yaitu dari transaksional ke kepemimpinan transformasional. Walaupun demikian bukan berarti kepemimpinan transaksional merupakan pendekatan yang berlawanan dengan kepemimpinan transformasional, karena kepemimpinan transformasional dapat dibangun dari pendekatan transaksional.
Ide teori kepemimpinan transformasional atau transformational Leadership Theory diawali oleh James MacGregor Burns (1979) dalam bukunya yang mendapat Pulitzer Price dan National Book Award yang berjudul Leadership. Dalam buku tersebut Burns menggunakan istilah mentranformasi kepemimpinan (tranforming leadership). Sedangkan istilah kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dikemukakan oleh Benard M. Bass (1985) dalam bukunya berjudul Leadership and Performance Beyond Expectations. Selanjutnya istilah kepemimpinan transformasional menjadi istilah yang dipakai secara umum dalam ilmu kepemimpinan.
Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional Leithwood dkk, mengemukakan “Transformational leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared visoin, distributing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in schools. Selain pendapat tersebut menurut Bass yang dikutip oleh Harsiwi kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo sedang kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (bertentangan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo.
Selain daripada itu, kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orang tua siswa, masyarakat dan sebagainya) bersedia tanpa paksaan, berpartisipasi siswa optimal dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional menurut Luthans adalah (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen pembaharuan; (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan.
Pendekatan kepemimpinan transformasional bukan berarti kepemimpinan transaksional atau lainnya menjadi usang, karena kepemimpinan terkait dengan gaya dan karakter pemimpin, sehingga tidak dapat dikatakan kepemimpinan lainnya tidak dapat diterapkan.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas maka kepemimpinan transformasional dapat dikatakan berupaya menggiring SDM yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi sekolah yang menjadi keharusan dalam skema terstrukturisasi sekolah dan menurut apa yang dirasakan oleh guru hal itu memberi sumbangan bagi perbaikan perolehan belajar pada siswa.
Kontribusi ini juga diperoleh dengan dukungan orang lain, peristiwa-peristiwa, dan faktor-faktor organisasi, seperti komitmen guru, kepuasan kerja guru, praktik-praktik pembelajaran atau kultur sekolah. Hal itu disebabkan karena kepemimpinan transformasional memiliki fokus transformasi pada guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran.
Pada setiap tahap dari proses transformasional, keberhasilan sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan keterampilan pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen perubahan; (2) mereka adalah pengambil resiko yang berhati-hati; (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka; (4) mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka; (5) mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dan pengalaman; (6) mereka mempunyai keterampilan kognitif dan yakin kepada pemimpin yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati; dan (7) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi yang mempunyai intuisi mereka.
J. Scott Burd mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan yang diterapkan dalam rangka mempertahankan pemimpin dan organisasi-organisasi dengan cara penggabungan tiga unsur yakni: strategi, kepemimpinan, dan budaya. Strategi yang dimaksud Burd mencakup kemampuan dalam menetapkan arah yang akan dituju oleh organisasi, mendefinisikan dan menerapkan rencana strategi untuk pencapaian tujuan atau misi organisasi, membangun visi, membangun kesamaan visi, menterjemahkan visi dan misi ke dalam aksi, mengembangkan komitmen untuk prestasi kerja, dan menerapkan strategi secara operasional.
Upaya mewujudkan visi menjadi realita menuntut kapasitas kepemimpinan yang kuat, tetapi juga unggul. Salah satu keunggulan yang harus ditampilkan oleh kepala sekolah adalah kemampuan untuk mewujudkan lembaga sekolah sebagai suatu organisasi pembelajaran yang berdampak pada rekulturisasi sekolah, sehingga organisasi sekolah yang awalnya bersifat hierarkhis dan birokratis berubah cenderung “datar” dan “akomodatif”.
Kepemimpinan mencakup dalam merealisasikan strategi, mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan fungsi dan situasi, menjadi pemimpin yang dapat mempengaruhi dan diakui oleh bawahan, memotivasi orang lain untuk menjadi pemimpin, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan organisasi, mpmp untuk mempertahankan kejayaan organisasi, dan membuat cara kerja yang lebih mudah.
Budaya, mencakup kemampuan dalam hal memotivasi bawahan untuk menerapkan strategi, memahami budaya kerja yang tumbuh, berlaku adil pada semua orang, cepat menerima perubahan yang bersifat inovatif, menjadi teladan sebagai pekerja yang lebih baik, dan menyempurnakan semangat team kerja.
Menurut Bass sebagaimana dikutip oleh Robbin memberikan empat ciri-ciri kepemimpinan transformasional, yakni karismatik, inspirasi, memiliki rangsangan intelektual dan pertimbangan yang diindividualkan. Untuk lebih jelasnya keempat ciri tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) karismatik, memberikan visi dan misi organisasi dengan jelas, menanamkan kebanggaan, memperoleh respek, dukungan dan kepercayaan dari bawahan atau rekan kerjanya; (2) inspirasi, mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan lambang-lambang untuk memfokuskan upaya mengungkapkan maksud-maksud penting dengan cara yang sederhana, (3) memiliki rangsangan intelektual, menggalakkan kecerdasan, membangun organisasi belajar, rasionalitas, dan memberikan pemecahan masalah yang diteliti; (4) pertimbangan yang diindivualkan, memberikan perhatian pribadi, memperlakukan setiap karyawan secara individual, melatih dan menasehati.
Menyimak pendapat Bass, kepemimpinan transformasional bersinggungan erat dengan ciri kepemimpinan karismatik. Dikatakan bahwa keduanya memang memiliki keterkaitan tetapi kepemimpinan transformasional lebih daripada pemimpin karismatik. Pada pemimpin karismatik menginginkan para pengikutnya atau bawahannya mengadopsi pandangan yang dikemukakan pemimpin tanpa atau dengan sedikit perubahan. Sebaliknya kepemimpinan transformasional menanamkan dan mendorong para pengikut atau bawahannya untuk bersikap kritis terhadap pendapat, pandangan yang sudah mapan di organisasi maupun yang ditetapkan oleh pemimpin. Selain itu pemimpin juga merangsang pengikut untuk lebih kreatif dan inovatif serta lebih meningkatkan harapan dan mengikatkan diri pada visi.
Johnson and Johnson mengambarkan kepemimpinan transformasional menciptakan keluarga di dalam dan di antara anggota, saling merawat satu dengan lainnya, memiliki visi dan mencoba untuk mengaktualisasikannya. Lebih jauh Johnson memaparkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat diidentifikasik melalui beberapa pertanyaan: (1) bagaimana mengelola tantangan status quo dari persaingan tradisional dan model individual dalam manajemen. Dalam hal ini pemimpin harus mampu memberi spirit dan memberi contoh untuk senantiasa maju meningkatkan kualitas diri. Hubungan kerja dalam organisasi perlu ditransformasikan ke dalam jaringan kerja yang saling mengait erat, untuk meningkatkan produktivitas, promosi yang lebih suportif, sehingga meningkatkan kualitas hubungan serta nilai diri anggota.

Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com


Kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Bahkan menurut Luthan (2005) dan Robbins (2003), kepemimpinan transformasional termasuk dalam teori kepemimpinan modern. Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass dalam Pidekso (2001). Menurut Burns untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kepemimpinan transformasional maka perlu dipertentangkan dengan Kepemimpinan Transaksional.
Kepemimpinan Transaksional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang menekankan pada suatu proses pertukaran (exchange process) antara pemimpin dan bawahan, dimana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melaksanakan perintah-perintah pemimpin. Menurut Robbins (2003) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi para pengikut mereka menuju ke sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Di samping itu pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggung jawab mereka, papa pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sesaran pada tingkatan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru demikian Locke (1997) dalam Pidekso (2001).
Burns (1998) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggung jawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui pemimpinnya. Dimensi perilaku kepemimpinan transformasional menuntut kesadaran pemimpin tentang visi, kepercayaan diri, dan kekuatan untuk bertahan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai benar dan baik, bukan sekedar untuk mendapatkan popularitas dan kemapanan. Dari aspek intelektual, pemimpin transformasional tidak puas hanya dengan pemecahan masalah yang bersifat parsial atau menerima keadaan status quo atau melakukan seperti yang biasa dilakukan. Mereka suka mencari cara-cara baru untuk mendapatkan manfaat yang maksimum dan peluang meskipun dengan resiko yang tinggi atau berat. Dalam berpikir mereka lebih proaktif dibanding reaktif, dalam gagasan mereka lebih inovatif dan kreatif, dalam ideologi mereka lebih radikal dan reaksioner dibanding konservatif, serta mereka tidak mengalami hambatan berpikir dalam upayanya mencari pemecahan masalah.
Bass dan Avolio (1993) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi atau aspek yang disebut sebagai “the Four l’s”, yaitu :
1. Idealized Influence – Charisma.(Pengaruh Ideal-Kharisma)
Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan orang lain dari kepentingan sendiri. Sebagai pemimpin perusahaan ia bersedia memberikan pengorbanan untuk kepentingan perusahaan. Ia menimbulkan kesan pada bawahannya bahwa ia memiliki keahlian untuk melakukan tugas pekerjaannya, sehingga patut dihargai. Ia memberikan wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan dada para bawahannya.
2. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasi)
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara lain dengan menentukan standar-standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai. Bawahan merasa mampu melakukan tugas pekerjaannya, mampu memberikan berbagai macam gagasan. Mereka merasa diberikan inspirasi oleh pemimpinnya.
3. Intellectual S:itnulation (Rangsangan Intelektual)
Pemimpin mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
4. Individual Consideration (Pertimbangan Individu)
Pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dari secara khusus rnau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Selain itu memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi. Pemimpin menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat melakukan pekerjaannya, dapat memberi sumbangan yang berarti untuk tercapainya tujuan kelompok.
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepemimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang kharismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologinya berbeda namun fenomena-fenomena kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) dalam Daryanto (2005) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Buthchatsky (1996) dalam Daryanto (2005) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut penerobos karena pemimpin semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan memperbaiki kembali karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perhatikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjaui kembali proses dan nilai-nilai organisasi agar Iebih baik dan Iebih ralevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat dan mencoba merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Diantara teori kepemimpinan yang unggul adalah teori kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional adalah pendekatan kepemimpinan dengan melakukan usaha mengubah kesadaran, membangkitkan semangat dan mengilhami bawahan atau anggota organisasi untuk mengeluarkan usaha ekstra dalam mencapai tujuan organisasi, tanpa merasa ditekan atau tertekan.

Seorang pemimpin dikatakan bergaya transformasional apabila dapat mengubah situasi, mengubah apa yang biasa dilakukan, bicara tentang tujuan yang luhur, memiliki acuan nilai kebebasan, keadilan dan kesamaan. Pemimpin yang transformasional akan membuat bawahan melihat bahwa tujuan yang mau dicapai lebih dari sekedar kepentingan pribadinya. Sedangkan menurut Yukl kepemimpinan transformasional dapat dilihat dari tingginya komitmen, motivasi dan kepercayaan bawahan sehingga melihat tujuan organisasi yang ingin dicapai lebih dari sekedar kepentingan pribadinya.

Kepemimpinan transformasional secara khusus berhubungan dengan gagasan perbaikan. Bass menegaskan bahwa kepemimpinan transformasional akan tampak apabila seorang pemimpin itu mempunyai kemampuan untuk:
1) Menstimulasi semangat para kolega dan pengikutnya untuk melihat pekerjaan mereka dari beberapa perspektif baru.
2) Menurunkan visi dan misi kepada tim dan organisasinya.
3) Mengembangkan kolega dan pengikutnya pada tingkat kemampuan dan potensial yang lebih tinggi.
4) Memotivasi kolega dan pengikutnya untuk melihat pada kepentingannya masing-masing, sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan organisasinya.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Devanna dan Tichy karakteristik dari pemimpin transformasional dapat dilihat dari cara pemimpin mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan, mendorong keberanian dan pengambilan resiko, percaya pada orang-orang, sebagai pembelajar seumur hidup, memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian, juga seorang pemimpin yang visioner.

kepemimpinan transformasional (transformational leadership) istilah transformasional berinduk dari kata to transform, yang bermakna mentransformasilkan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda. Seorang pemimpin transgformasional harus mampu mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target yang telah ditentukan. Sumber daya dimaksud bias berupa SDM, Fasilitas, dana, dan factor eksternal organisasi. Dilembaga sekolah SDM yang dimaksud dapat berupa pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli, guru, kepala sekolah, dan siswa.

Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional ini dikemukakan oleh Burn yang menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah sebuah proses di mana pimpinan dan para bawahannya untuk mencapai tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menentukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nlai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan bukan didasarkan atas emosi kemanusiaan, keserakahan,kecemburuan, atau kebencian.
Tingkat sejauhmana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para pengikut. Para pengikut seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat kepada pememimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan terhadap mereka.

Dalam buku yag berjudul “Improving Organizational Effectiveness Through Transformasional Leadership”, Bass dan Avolio mengemukakan bahwa kepemimpinan transformatif mempunyai empat dimensi. Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai prilaku pemimpin yang membuat parapengikutnya mengagumi, menghormati, dan sekaligus mempercayainya.

Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivasion (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagaipemimpin yang mampumengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan antusiasme dan optimisme.

Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menubuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru melaksanakan tugas-tugas organisasi.

Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan dan pengembangan karir.
Pemimpin transformasional di sini adalah membimbing atau memotivasi pengikutnya kearah tujuan yang telah ditentukan dengan cara menjelaskan ketentuan-ketentuan tentang peran dan tugas. Pemimpin transformasional memberikan pertimbangan yang bersifat individual, simulasi intelektual, dan memiliki kharisma.

Untuk Melihat Artikel Terkait & Daftar Rujukan KLIK DI SINI

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Komponen Perilaku Kepemimpinan Transformasional
Di bawah ini akan dibicarakan komponen perilaku atau manifestasi kepemimpinan transformasional agar dalam memahaminya lebih terukur. Bass dalam Hartanto beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu (1) memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (Idealized Influence – Charisma), (2) menumbuhkan
ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana (Inspirational Motivation/leadership), (3) meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual Stimulation), dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin yang seperti ini akan dianggap oleh rekan-rekan atau bawahan mereka sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan.

Bass dalam bentuk asli memuat 12 faktor pengukuran kepemimpinan tranformasional yang meliputi item mengenai atribut charisma, idealized influence, inspirational leadership, intellectual stimulation, individual consideration, contingent reward, management by exception active, management by exception passive, laissez faire leadership, extra effort, effecitveness, dan satisfaction.

Berangkat dari perspektif Bass yang dalam bentuk aslinya memuat 12 faktor pengukuran kepemimpinan tranformasional yang meliputi item mengenai atribut charisma, idealized influence, inspirational leadership, intellectual stimulation, individual consideration, contingent reward, management by exception active, management by exception passive, laissez faire leadership, extra effort, effecitveness, dan satisfaction. 12 belas komponen pengukuran ini selanjutnya ada modifikasi-modifikasi yang akan mengarah dan berkaitan dengan adanya perubahan dan perbaikan dalam sebuah kehidupan berorganisasi.

Meskipun Bass membuat pengukuran perilaku kepemimpinan transformasional dalam 12 perilaku seperti tergambat diatas penelitian ini hanya akan melihat fenomena penelitian hanya dari sudut pandang empat perikau saja, empat perilaku tersebut sebagai berikut:

Rujukan:
1. Sondang S. Piagan, Teori Pengembangan Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hal. 230
2. J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Rajawali pres, 2003), hal. 192
3. Adam Ibrahim Indrawijaya, Perubahan dan Pengembangan Organisasi, (Bandung: 1989), hal. 227
4. Nader Anga, Theory I (kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Spritual), (Jakarta: Serambi, 2002), hal. 79-80
5. Masu’ud Said, Kepemimpinan (Pengembangan Organisasi, team Building dan Perilaku), (Malang; UIN Press, 2006) hal. 7

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Oleh: M. Karim, M.Pd
Pengajar di UIN Malang


KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DALAM ISLAM
Wacana kepemimpian dalam dunia Islam yang utuh digali dari teks suci agama (al-Qur’an) mulai menjadi gelombang besar pada akhir abad 19 setelah sebelumnya melemah karena menguatnya gelombang pengembangan ilmu pengetahuan melalui pengkajian langsung terhadap sumber pengetahuan berupa perilaku manusia dan gejala alam semesta raya ini. Keadaan itu terjadi karena Eropa telah terbukti berhasil membangun dan mengembangkan peradabannya sampai sekarang dengan melandaskan epistemologi pengetahuannya dalam bentuk demikian, ditambah lagi politik pengetahuan yang menghegemoni terhadap penduduk dunia lainnya sehingga bentuk epistemologi ini menjadi begitu kokoh, kuat dan tak terbantahkan karena menguatkanya apresiasi penduduk dunia lainnya.

Kepemimpinan transformasional perspektif Islam dalam kajian ini tidaklah dibangun dengan kerangka pikiran dikotomis antara ayat Allah SWT yang verbal berupa al-Qur’an dan ayatNya yang non verbal berupa perilaku manusia dan gejala alam semesta. Oleh karena itu, dalam membincang kepemimpinan transformasional dalam perspektif Islam tidak perlu dimulai dari nol, tetapi dapat memanfaatkan perilaku kepemimpinan manusia dan teori-teori kepemimpinan yang sudah ada termasuk teori Transformational Leadership barat dengan melakukan saling menguji, saling dialog, saling melakukan revisi dan saling melakukan modifikasi, saling melengkapi atau mengurangi (antara al-Qur’an dan perilaku manusia/gejala alam semesta) sehingga dapat dibangun kesimpulan yang paling mendekati kebenaran hakiki.

Hal ini berdasarkan pemahaman adanya dua ragam tanda (sign/ayat) Tuhan yang perlu diketahui. Pertama tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak linguistik verbal dan menggunakan bahasa insani (bahasa Arab/bahasa Qur’ani). Kedua, tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak nonverbal berupa perilaku manusia dan gejala alam. Keduanya diturunkan Allah untuk manusia agar mereka menelaah dan memahaminya. Kedua ayat itu menduduki posisi yang sama (sama-sama berasal dari Allah SWT.) sebagai sumber inspirasi dalam membincang kepemimpinan transformasional perspektif Islam.

Ulasan tentang konsep kepemimpinan trnsformasional baik yang dikaji dari ayat Tuhan yang verbal (al-Qur’an) maupun yang nonverbal (perilaku manusia dan gejala alam semesta) titik persamaannya adalah dalam memposisikan “perubahan” dan “perbaikan” sebagai titik berangkat dan tujuan organisasi. Adapun perpedaannya adalah konsep yang dikaji dari ayat Tuhan yang berupa perilaku manusia dan gejala alam semesta seringkali terlalu antroposentris bahkan mengalami keterputusan dengan hal yang teosentris. Sedangkan konsep yang dikaji langsung dari ayat Tuhan yang verbal (al-Qur’an) seringkali terlalu terjebak kepada teosentris sehingga terkesan konsep yang dibangun tidak kontektual yang sesuai dengan psikososial manusia.

Konsep transformational leadership sudah banyak diberbincangkan di barat khususnya pada akhir-akhir ini. Meskipun demikian, pembahasan di bagian ini bukan gejala dari alih-alih dan akuisisi pengetahuan, dengan jalan mencari-cari atau mengganti landasan dasar dari sebuah teori pengetahuan yang sudah ada sebelumnya dengan al-Qur’an. karena tulisan ini tidaklah dibangun dengan kerangka pikiran dikotomis antara ayat Allah SWT yang verbal berupa al-Qur’an dan ayatNya yang non verbal berupa hamparan alam semesta dan gejalanya.

Lahirnya perubahan (transformasi) yang lebih baik merupakan inti dari usaha- usaha yang dilakukan oleh jamak manusia di dunia ini. Perubahan dan perbaikan merupakan inti dari aktivitas sebuah kepemimpinan. Dengan demikian term transformasi menjadi hal yang sangat signifikan dan relevan. Usaha agama, usaha pengetahuan, usaha ekonomi, usaha politik, usaha kebudayaan, usaha pendidikan, usaha manajemen, usaha kepemimpinan dan lain sebagainya merupakan serangkaian yang dilakukan oleh manusia untuk menuju perubahan (transformasi) yang lebih baik.

Dalam al-Qur’an semangat perubahan, revolusi termasuk transformasi dapat menemukan pijakan epistemologisnya dari beberapa ayat yang menceritakan tentang para nabi dan rasulullah yang revolusioner semisal cerita Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW dan beberapa ayat yang tertera lafadz al-Hijrah, dan al-Jihadu,. Berangkat dari identifikasi ayat-ayat bersemangat transformasi dengan kata-kata kunci seperti diatas kita akan dapat memulai mengkonsepsikan tentang kepemimpinan transformasional dan perilakunya dalam perspektif Islam (al-Qur’an).

Rujukan:
1. Sondang S. Piagan, Teori Pengembangan Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hal. 230
2. J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Rajawali pres, 2003), hal. 192
3. Adam Ibrahim Indrawijaya, Perubahan dan Pengembangan Organisasi, (Bandung: 1989), hal. 227
4. Nader Anga, Theory I (kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Spritual), (Jakarta: Serambi, 2002), hal. 79-80
5. Masu’ud Said, Kepemimpinan (Pengembangan Organisasi, team Building dan Perilaku), (Malang; UIN Press, 2006) hal. 7
6. John Aldair, Menjadi Pemimpin Efektif (Terjemah oleh Andre Asparsayogi), Jakarta: Kerjasama Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen dengan PT Binaman Pressindo, 1994, hal.. 13
7. Kamus Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hal.. 588
8. Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002, hal.. 16-19
9. Thisihiko Izutsu, God and Man in The Koran: Semantic of The Koranic Weltanschaung, (Tokyo: The Keiko Institute of Cultural and Linguistics, 1964) hal. 133

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Dampak yang paling jelas terlihat dalam kehidupan organisasi jika perilaku kepemimpinan dalam organisasi tersebut transformasional adalah transformasi organisasi itu sendiri. Transformasi organisasi disini adalah perubahan-perubahan drastis yang terjadi dalam organisasi yang menyangkut cara organisasi berfungsi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Transformasi oragnisasi mengandung makna bahwa upaya perubahan yang dilakukan bersifat drastis dan mendadak yang diarahkan pada tiga faktor organisasional, yaitu: Struktur organisasi sebagai keseluruhan, Proses manajemen dan Kultur organisasi.

Perubahan-perubahan seperti diskripsi diatas merupakan peruabahan yang bersifat organisasional sistemik. Maksud perubahan ini adalah adanya perubahan pada seluruh bagian-bagian, departeman-departemen dalam organisasi yang sudah tersistemkan. Kepemimpinan transformasional selain meyebabkan perubahan sistem struktural diatas juga berdampak terhadap perubahan-perubahan kehidupan subyek-subyek organisasi karena sasaran umum ekplisit dari pengembangan organisasi yaitu pertumbuhan dan pengembangan individu-individu pad semua tingkat organisasi, yang diekpektasi akan menyebabkan timbulnya peningkatan efisiensi dan efektifitas keorganisasian.

Dampak perubahan lainnya adalah adanya perubahan dan pengembangan manajemen. Pengembangan manajemen adalah perubahan dan pengembangan yang terjadi secara gradual karena sudah direncanakan. Dalam manajemen seperti itu akan ada kegiatan-kegitan pengembangan manajemen yang ditujukan untuk membantu terjadinya proses perubahan, proses perubahan tersebut dilakukan secara berencana dan sistemik dalam rangka menigkatkan efektifitas organisasi melalui perubahan pada mereka yang menduduk posisi struktural.
Secara garis besar penerapan kepemimpinan transformasional akan mampu membawa kepada peningkatan kinerja sebagai akibat dari adanya perubahan baik pada tingkat makro maupun mikro, yang mana keduanya saling berhubungan dan penting untuk menciptkan perubahan-perubahan besar dalam organisasi.

Peningkatan kinerja organisasimerupakan buah dari perubahan yang durencanakan secara seksama. Perubahan demikian terjadi dalam level organisasi, baik makro maupun mikro. Pada tingkat makro, perubahan difokuskan pada organisasi secara keseluruhan. Isu-isu semacam visi, misi, prinsip, arahan tujuan, target, dan strategi organisasi masuk dalam kategori ini. Sedangkan perubahan pada level mikro menekankan peran individu, faktor-faktor sosial yang terlibat diantaranya: budaya korporat, tim kerja, struktur organisasi, juga pemenuhan kebutuhan kerja.

Masud Said menuliskan bahwa:
Implikasi dari perubahan-perubahan tersebut bagi organisasi juga harus disesuaikan juga dengan tantangan terdekat dari organisasi yang dimaksud…. maka implikasi pengembanagan individu ialah pengayaan materi ilmu terus-menerus, menambah keyakinan akan misi-misinya esensial organisasi termasuk ide-idenya dan juga motivasi yang benar, besar dan terarah.

Bedasarkan beberapa pendapat diatas bahwa adanya perubahan sebagai dampak dari penerapan kepemimpinan transformasional akan terjadi pada beberapa bagian. Said menjelaskan bahwa perubahan akan terjadi pada bagian terdekat, jika kepemimpinan transformasional diterapkan di perguruan tinggi (misalnya rektor) maka faktor terdekat semisal Purek I, II, III, dan IV serta beberapa pejabat struktural akan mengalami perubahan.

Perubahan yang paling jelas terlihat dan terdekat sebagai dampak dari penerapan perilaku kepemimpinan transformasional adalah transformasinya perilaku karyawan organisasi dalam berfikir, beraktifitas guna menggerakkan laju organisasi. Pemimpin transformasional yang lebih konsen kepada perubahan, perbaikan dan peningkatan kemampuan SDM organisasi jelas akan berdampak langsung terhadap prestasi-prestasi karyawan dan selanjutnya pengembangan organisasi berjalan dengan baik, benar dan tepat.

Rujukan:
1. Sondang S. Piagan, Teori Pengembangan Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hal. 230
2. J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Rajawali pres, 2003), hal. 192
3. Adam Ibrahim Indrawijaya, Perubahan dan Pengembangan Organisasi, (Bandung: 1989), hal. 227
4. Nader Anga, Theory I (kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Spritual), (Jakarta: Serambi, 2002), hal. 79-80
5. Masu’ud Said, Kepemimpinan (Pengembangan Organisasi, team Building dan Perilaku), (Malang; UIN Press, 2006) hal. 7

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Kepemimpinan transaksional menggunakan pendekatan transaksi untuk disepakati bersama antara pemimpin dengan karyawan. Disini pemimpin mengambil inisiatif untuk menawarkan beberapa bentuk pemuasan kebutuhan karyawan seperti peningkatan upah, promosi, pengakuan dan perbaikan kondisi kerja. Sebaliknya apabila karyawan mau menerima tawaran itu mereka harus bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Apabila kedua belah pihak telah menyepakati transaksi tersebut, pemimpin menindaklanjuti dengan merumuskan dan mendiskripsikan tugas-tugas dengan jelas dan operasional, menjelaskan target yang harus dicapai, menawarkan berbagai bentuk imbalan yang dapat memotivasi karyawan untuk bekerja keras.

Sedangkan kepemimpinan transformasional menyatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang sukses, dia harus membangkitkan komitmen pengikutnya untuk dengan kesadarannya membangun nilai-nilai organisasi, mengembangkan visi organisasi, melakukan perubahan, dan mencari terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Untuk menjadi pemimpin transformasional, ia harus melakukan tugasnya melalui:

Pertama, Membangun keadaran pengikutnya akan pentingnya semua pihak mengembangkan dan perlunya semua pihak harus bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Kedua mengembangkan komitmen berorganisasi dengan mengembangkan kesadran ikut memilki organisasi, kesadran bertanggung jawab menjaga kebutuhan dan kehidupan organisasi, serta berusaha memlihar dan memajukan organisasi.

Pada kepemimpinan transaksional pemimpin memang berperan sebagai penampung aspirasi anggotanya, akan tetapi lebih fokus pada aspirasi para individu, bukan lembaga. Jadi pemimpin bekerja sepenuh tenaga untuk sebesar mungkin memenuhi aspirasi para individu. Pemimpin bekerja pada sistem yang sudah terbangun, tanpa dituntut punya inisiatif mengembangkan komunitas lebih lanjut. Singkatnya, dalam kepemimpinan transaksional, pemimpin lebih bertindak sebagai seorang manajer dengan berpedoman kuat pada nilai-nilai yang sudah terbangun secara mapan. Akad hubungan dengan anggota yang ditekankan adalah “reward” (imbalan) dan “punishmen” (hukuman) yang bersifat konvesional.

Kepemimpinan transaksional memotivasi pengikut dengan minat-minat pribadi, melibatkan nilai-nilai yang relevan dalam proses pertukaran dan tidak langsung menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki. Selain tujuan antara transformasional dengan transaksionl berbeda, kontuniutas perilaku juga berbeda. Keperbedaan kedua pendekatan kepemimpinan tersebut bukanlah bersifat dikotomis melainkan lebih bersifat stuasional, sehingga tampilannya lebih berupa sebuah kontinium atau kontingensi.

Jika merujuk pada pendapat diatas maka kepemimpinan transformasional secara mendasar memang berbeda dengan transaksional dalam penekanaanya tentang penciptaan perubahan. Namun, pemimpin transformasioanal bisa melakukan perilaku transaksional dalam situasi tertentu guna menciptakan perubahan, sehingga proses penggabungan dua model kepemimpinan tersebut terjadi.

Sementara dalam kepemimpinan transformasional, selain menjadi representasi keinginan bersama para anggotanya, pemimpin juga dituntut untuk selalu aktif melakukan inisiasi perubahan (envisioning). Memang dia akan berpijak sistem yang sudah ada, akan tetapi bersamaan dengan itu, dia juga aktif mempromosikan visi baru yang progresif berlandaskan pada moralitas dan tujuan luhur bersama. Pemimpin menjadi motivator kegairahan anggotanya untuk bersama mendorong kemajuan lembaga.

Dalam proses kepemimpinannya, ada proses dialektika aktif antara pemimpin dan anggota untuk mendiskusikan visi baru organisaisi. Dalam proses tersebut anggota memberikan standar “capaian” bersama organisasi, dan pada saat yang sama pemimpin menstimulasi diskursus yang mengarah pada capaian standar baru yang lebih tinggi. Jadi, ada tambahan peran pemimpin transformational yaitu envisioning, energizing, dan enabling (Burns 2003). Envisioning artinya pemimpin menstimulus terbentuknya visi baru organisasi yang lebih maju. Energizing berarti berarti kekuatan karakter yang menjadi sumber energi (spirit) bagi anggota untuk bergairah bekerja mewujudkan cita-cita lembaga. Dan dengan enabling Pemimpin bekerja bersama dengan anggota sehingga memberikan keyakinan akan terwujudnya cita-cita lembaga (bukan cita-cita individu).

Rujukan:
1. Wuradji, The Educational Leadership (Kepemimpinan Transformasional), (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hal. 30-31
2. Sudarman Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar (kepemimpinan Transformasional Dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran), (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 58-59
3. M. Chozin, Kepemimpinan Transformatif: Tanda Mata Buat PB HMI, (http://www.hminews.com/) diakses tanggal 25 oktober 2008

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Pengertian kepemimpinan transformasional
Istilah kepeimpinan transformasional terdiri dari dua suku kata yaitu kepemimpinan (leadership) dan transformasional (transformastion) . Adapun istilah transformasional berinduk dari kata to trasform yang bermakna mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi menjadi bentuk lain yang berbeda. Misalnya mentransformasikan visi menjadi realita, panas menjadi energi, potensi menjadi aktual, laten menjadi manifes dan sebagainya. Transformasional karenanya mengandung makna sifat-sifat yang dapat mengubah sesuatu menjadi bentuk lain, misalnya mengubah energi potensial menjadi energi aktual atau motif berprestasi menjadi prestasi riil. Sudarman melanjtukan dengan mengutip Lethwood dkk. mengemukakan bahwa:
Transormational leadership is seen to be sesitive to organization building developing shared vision, distributing and building school culture neccessary to curent restructuring effors in schools.

Kepemimpinan transormasional sangat sesitiv untuk membangun organisasi dengan mengembangkan visi bersama, mendistribusikan, dan membangun budaya sekolah yang diperlukan untuk memberikan dorongan restrukturisasi di sekolah.

Pendapat lainnya mengatakan bahwa:
Trasformasional leaders posses good visioning, rethorical, and impreration management skills, ang they use these skill to develop strong emotional bond with follower. Transformational leaders belived to ber more sucsesful at driving organazational change because of followers heightenid emotional level and their willingnes to wor toward the accomplisment of leaders vision.

Pemimpin trasformasional memiliki visi, retorika yang baik, dan pengembangan keterampilan manajemen, mereka menggunakan keahlian ini untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan para pengikut. Pemimpin transformasional mempunyai keyakinan sukses untuk mengarahkan perubahan organisasi, karena pengikutnya mempunyai tingkat emosional tinggi untuk mewujudkan visi kepemimpinannya.

Kutipan ini menggariskan bahwa kepemimpinan transformaional menggiring SDM yang di pimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur oraganisasi. Pendapat berikutnya akan memberikan kesimpulan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu mengkomunikasikan visi sehingga menimbulkan emosi yang kuat dari para pengikutnya untuk menggapainya sehingga perubahan akan terus-menerus terjadi.

Rujukan:
1. Sudarman Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar (kepemimpinan Transformasional Dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran), (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 53-54
2. Ricard L Hughes dkk, Leadership Enhancing tehe Lesson of Experience, (New York, Hill Compinies, 2002), hal. 416

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Konsep awal tentang Kepemimpinan Transformasional ini dikemukakan oleh Burn yang menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah sebuah peroses dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha untuk mencapai tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Untuk memperjelas posisi kepemimpian transformasional (mentransformasi nilai-nilai) ia membedakannya dengan kepemimpinan transaksional (jual beli nilai-nilai). Dalam pengertian lainnya, pemimpin transformasional mencoba untuk membangun kesadaran para bawahannya dengan menyerukan cita-cita yang besar dan moralitas yang tinggi seperti kejayaan, kebersamaan dan kemanusiaan.

Seorang pemimpin dikatakan transformasional diukur dari tingkat kepercayaan, kepatuhan, kekaguman, kesetiaan dan rasa hormat para pengikutnya. Para pengikut pemimpin transformasional selalu termotivasi untuk melakukan hal yang lebih baik lagi untuk mencapai sasaran organisasi.

Kepemimpian Transformasional ini memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan karismatik. Karisma merupakan bagian yang sangat penting dalam Kepemimpinan Transformasional, namun karisma itu tidak cukup untuk melakukan proses transformasi. Perbedaan yang paling menonjol adalah para pemimpin transformasional mencoba untuk memberikan kekuasaan sesuai dengan kapasitas kewenangan masing-masing dan memberdayakan bawahan tetapi pada kepemimpinan karismatik boleh jadi pemimpin mencoba untuk membuat para pengikutnya tetap lemah agar selalu merasa tergantung dan patuh padanya.

Teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass.

Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan transaksional yaitu kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.

Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru.

Menurut Burn, pemimpin bukan saja pemimpin yang memungkinkan terjadinya proses pertukaran dengan kemauan atau keinginan para pengikutnya, atau Pemimpin Transaksional, apalagi bagi para pengikutnya yang baru belajar, tetapi dalam proses selanjutnya perlu pemimpin yang dapat mengangkat dan mengarahkan pengikutnya ke arah yang benar, ke arah moralitas dan motivasi yang lebih tinggi atau sering disebut sebagai Pemimpin Transformasional. James MacGregor Burns, dalam Leadership (pemenang Pulitzer Prize), ” But transformational leadership ultimately becomes moral in that it raises the level of human conduct and ethical aspiration of both leader and the led, and thus it has a transforming effect on both.”

Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu.

Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya.

Pemimpin transformasional bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara mempraktikkan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen.

Menindaklanjuti idenya Max Weber mengenai masyarakat law bureaucracy, John Gregorius Burns menggulirkan ide “kepemimpinan trnsformasional” pada tahun 1978. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional adalah sebuah kepemimpinan yang melibatkan seluruh elemen anggota organisasi/masyarakat dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu, kepimimpinan bukan hanya terdiri dari orang yang memimpin saja, akan tetapi juga melibatkan anggota (followers) dalam proses kepemimpinannya. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pada kondisi masyarakat yang sudah sangat berdaya; batas kapasitas pribadi antara yang dipimpin dengan pemimpin sudah sangat tipis (artinya sudah sama-sama pintar). Masyarakat tidak lagi membutuhkan sosok pimpinan yang serba bisa dan instruksionis, melainkan pemimpin yang bisa menampung aspirasi bersama untuk bersama-sama diwujudkan dalam tindakan kelembagaan yang sistematis.

Lebih lanjut, kepemimpinan transformasional lebih mengandalkan pertemuan visi kedepan yang dibangun berdasarkan konsesus bersama antara pemimpin dan anggota. Oleh karena itu pemimpin tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang bertugas untuk memberikan visi gerakan dan kemudian mendiseminasikan kepada anggotanya; peminpin justru menjadi interpreter (penerjemah) visi bersama para anggotanya untuk di transformasikan dalam bentuk kerja nyata kolektif yang mutual.

Rujukan:
1. Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi (Leadership in Organization), Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Universitas Katolik Indonesia, 1994, hal. 29
2. Eisenbach, et.al., dalam Tjiptono, Fandy, dan Akhmad Syakhroza, “Kepemimpinan Transformasional”, Manajemen dan Usahawan Indonesia, No. 9, Thn. XXVIII September 1999, hal. 5-13.
3. Bass dalam Hartanto, F. M., “Peran Kepemimpinan Transformasional dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia, Makalah Seminar Departemen Tenaga Kerja, Jakarta, 1991.

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com