Arsip

PAI

DOWNLOAD SILABUS RPP KTSP SMA/ SMK KELAS 1 / X
1. Sosiologi
2. PKN
3. Matematika
4. Sejarah
5. Seni Rupa
6. Fisika
7. Biologi
8. Bahasa Inggris
9. PAI
10. Ekonomi
DOWNLOAD SILABUS RPP KTSP SMA/ SMK KELAS 2 / XI
1. Sosiologi
2. Ekonomi
3. PAI
4. Sejarah
5. Biologi
6. Bahasa Indonesia
7. Matematika
8. Seni Rupa
9. PKN
10. Bahasa Inggris
DOWNLOAD SILABUS RPP KTSP SMA/ SMK KELAS 3 / XII
1. Sosiologi
2. Ekonomi
3. Fisika
4. Sejarah
5. Biologi
6. Bahasa Indonesia
7. Seni Rupa
8. PKN
9. Bahasa Inggris

sumber: http://mgmpsmpn1kedokanbunder.blogspot.com

Alhamdulillah, akhirnya kerja panjang penyusunan perangkat pembelajaran yang dilaksanakan oleh MGMP PAI SMA/SMK Kab. Bogor telah selesai walaupun belum fix 100%. Tetapi hasil ini dapat dijadikan sebagai referensi kawan-kawan guru PAI SMA/SMK Kab. Bogor dalam menyusun perangkat pembelajaran di sekolah.
Perangkat pembelajaran yang disusun oleh MGMP meliputi Analisis SK/KD, KKM, Silabus, RPP dengan format terbaru, KKM, Program Tahunan dan Program Semester. Bagi kawan kawan GPAI yang membutuhkannya silahkan download link di bawah ini:

1. Kelas X Ganjil
2. Kelas X Genap
3.Kelas XI Ganjil
4.Kelas XI Genap
5.Kelas XII Ganjil
6.Kelas XII Genap
Untuk kawan kawan GPAI SMA/SMK Kab. Bogor dimohon untuk memberikan masukan demi perbaikan perangkat kita dimasa yang akan datang.
sumber

Berikut ini link download Silabus, RPP, KTSP Untuk SMP untuk PAI SMP

KLIK LINK BIRU UNTUK DOWNLOAD

1. Analisis tes pilihan ganda
2. Hasil Bintek pai 2010
3. Instrument penilaian dan rubric
4. Kisi kisi tes
5. Ktsp pai kelas 9
6. Ktsp mgmp pai kelas 7
7. Ktsp mgmp pai kelas 8
8. Ktsp mgmp pai kelas 9
9. Ktsp pai kelas 7 kediri
10 Ktsp pai kelas 7 kediri-2
11. Ktsp pai kelas 8 kediri
12. Ktsp pai kelas 8 kediri-2
13. Ktsp pai kelas 9 kediri
14. aduan penyusunan rpp
15. Panduan silabus rpp karakter bangsa
16. Panduan penyusunan silabus
17 Pedoman memilih dan menyusun bahan ajar
18. Pedoman penilaian pai smp
19. Pemetaan kelas 8 semester 1
20. Pengembangan silabus kelas 8
21. Pengembangan model pembelajaran yang efektif
22. Perbandingan mata pelajaran pai
23. Program semester kelas 9
24. Program tahunan kelas 8
25. Program tahunan kelas 9
26. Promes kelas 7 semester-2
27. Promes kelas 7 semester-1
28. Prota dan promes kelas 7
29. Rpp kelas 7 revisi
30. Rpp kelas 7 dengan 17 karakter
31. Rpp kelas 8
32. Rpp kelas 9-I
33. Rpp kelas 7 semester 1
34. Rpp kelas 8 semester 1-2
35. Rpp kelas 9 semester-1
36. Rpp kelas 7 semester 2
37. Rpp kelas 8 semester 1
38. Rpp kelas 7 semester 2
39. Silabus kelas 7-8-9
40. Silabus kelas 7 kediri
41. Silabus kelas 8 kediri
42. Silabus kelas 9 kediri
43. Silabus rpp ktsp kelas 7
44. Silabus rpp ktsp kelas 8
45. Silabus rpp ktsp kelas 9
46. Silabus rpp ktsp pendukung
47. Silabus rpp ktsp contoh
48. Silabus rpp ktsp pengembangan karakter
49. SK dan KD PAI kelas 7-8-9

Sumber

Berbagai pendekatan pembelajaran pendidikan agama di sekolah yang dapat dilakukan oleh para guru agama antara lain:
a. Keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk jagad ini.
b. Pengamalan, memberikan kesempatan peserta didik untuk mempraktikkan dan merasakan hasil pengamalan ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan.
c. Pembiasaan, memberikan kesempatan peserta didik untuk berperilaku baik sesuai ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
d. Rasional, usaha memberikan peranan pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan bahan ajar dalam materi pokok serta kaitannya dengan perilaku baik dan buruk dalam kehidupan duniawi.
e. Emosional, upaya menggugah perasaan atau emosi peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai ajaran agama dan budaya bangsa.
f. Fungsional, menyajikan semua materi pokok dan manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
g. Keteladanan, menjadikan figur guru agama serta petugas sekolah lainnya maupun orangtua sebagai cermin manusia berkepribadian agama. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 21 yang berbunyi:

Artinya: ”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Dengan demikian, para pakar dan praktisi pendidikan khususnya PAI apabila merujuk pada ruang lingkup, fungsi dan pendekatan PAI sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Kurikulum PAI di sekolah sudah sangat lengkap dan meliputi seluruh unsur domain peserta didik, baik dari kognitif, afektif maupun psikomotorik. Namun dalam praktiknya di lapangan, masih ada bagian ruang lingkup, fungsi dan pendekatan PAI yang tidak dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan ditambah rendahnya daya serap siswa terhadap materi yang diterima. Dari akar permasalahan inilah akhirnya memunculkan problematika PAI di sekolah.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com http://grosirlaptop.blogspot.com

Dalam Pedoman Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dijelaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah memuat materi al-Quran dan Hadits, Aqidah/Tauhid, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ruang lingkup tersebut menggambarkan materi pendidikan agama yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablum minallah, hablum minannas wahablum minal ’alam).
Pendidikan agama di sekolah bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya terhadap Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membetuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Adapun tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Tingkat Atas adalah sebagai berikut:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Sedangkan pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah umum berfungsi untuk:
a. Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik secara optimal, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga.
b. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman dalam meniti kehidupan untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia ini maupun di akherat kelak.
c. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui penanaman nilai-nilai pendidikan agama Islam yang berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan.
d. Perbaikan kesalahpahaman, kesalahan dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif baik yang berasal dari pengaruh budaya asing maupun kehidupan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
f. Pengajaran tentang pengetahuan ilmu keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya dalam kehidupan sehingga terbentuk peribadi muslim yang sempurna.
g. Penyiapan dan penyaluran peserta didik untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Untuk mengimplementasikan fungsi pendidikan agama tersebut, maka pendidikan agama tidak bisa berdiri sendiri dan terpisah dengan mata pelajaran lainnya, sebaliknya pendidikan Islam justru harus menjadi ruh dan spirit bagi mata pelajaran lain.
Dilihat dari posisi dan hubungannya dengan mata pelajaran lain, terdapat tiga model yang digunakan dalam mengembangkan pendidikan Agama Islam, yaitu :
a. Model Dikotomis
Dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikoto¬mi atau diskrit, sehingga dikenal ada istilah pendidikan agama dan pendidikan umum. Karena itu, pengembangan pendidikan agama Islam hanya berki¬sar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non agama.
b. Model Mekanis
Paradigma mekanis memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penana¬man dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fung¬sinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas: nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidu-pan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (inde¬pendent) atau lateral-sekuensial.
c. Model Organis
Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan funda¬mental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mem¬punyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengeta¬huan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Setidaknya, apa yang dikhawatirkan oleh Tilaar cukup menjadi dasar pilihan paradigma tersebut. Menurutnya, apabila ilmu-ilmu agama diposisikan secara terpisah (formisme) atau dalam posisi sejajar (mekanisme), maka akan sangat membahayakan eksistensi kehidupan manusia. Misalnya kasus kloning yang mulai dikembangkan pada manusia sebagai bentuk kemajuan dari bioteknologi adalah wujud kongrit ketika agama dan ilmu pengetahuan diposisikan dalam hubungan yang terpisah dan independent (horizontal-lateral).

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com http://grosirlaptop.blogspot.com

Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dua landasan pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah, yaitu: landasan historis dan landasan perundang-undangan sebagai sumber hukum positif. Kedua landasan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Landasan Historis
Ketika Pemerintah Sjahrir menyetujui pendirian Kementrian Agama (sekarang Departemen Agama) pada 3 Januari 1946, elit Muslim menempatkan agenda pendidikan menjadi salah satu agenda utama Kementrian Agama selain urusan haji, peradilan, dan penerangan. Sebagai reaksi terhadap kenyataan lembaga pendidikan yang tidak memuaskan harapan mereka, elit Muslim tersebut dalam alam proklamasi memusatkan perhatian kepada dua upaya utama yang satu sama lain saling berkaitan. Pertama ialah mengembangkan pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah umum yang sejak Proklamasi berada di bawah pembinaan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Kementrian PPK). Upaya ini meliputi: (1) memperjuangkan status pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan pendidikan tinggi, (2) mengembangkan kurikulum agama, (3) menyiapkan guru-guru agama yang berkualitas, dan (4) menyiapkan buku-buku pelajaran agama. Kedua, upaya yang dilakukan oleh Kementrian Agama ialah peningkatan kualitas atau “modernisasi” lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah memberi perhatian pada pendidikan/pengajaran agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus. Strateginya ialah: (1) dengan cara memperbarui kurikulum yang ada dan memperkuat porsi kurikulum pengajaran umum modern sehingga tak terlalu ketinggalan dari sekolah-sekolah umum, (2) mengembangkan kualitas dan kuantitas guru-guru bidang umum, (3) menyediakan fasilitas belajar seperti buku-buku bidang studi umum, dan (4) mendirikan sekolah Kementrian Agama di berbagai daerah/wilayah sebagai percontohan atau model bagi lembaga pendidikan Islam setingkat.
Dari landasan sejarah di atas dapat kita pahami bahwa salah satu perjuangan elit Muslim Indonesia sejak awal kemerdekaan pada bidang pendidikan adalah memperkokoh posisi pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah-sekolah umum sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dari perjuangan ini dapat kita pahami bahwa masuknya PAI pada kurikulum sekolah umum seluruh jenjang merupakan perjuangan gigih para tokoh elit Muslim sejak awal kemerdekaan hingga sekarang ini. Maka dari itu, keberadaan dan peningkatan mutunya tentunya merupakan kewajiban kita khususnya kalangan akademis di lingkungan PTAI maupun para praktisi pendidikan di lapangan.
b. Landasan Perundangan-undangan.
Landasan perundang-undangan sebagai landasan hukum positif keberadaan PAI pada kurikulum sekolah sangat kuat karena tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab V Pasal 12 ayat 1 point (a), bahwasannya setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 36 ayat 3 bahwasannya kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan taqwa. Dan pasal 37 ayat 1, bahwasannya kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama. Dengan merujuk beberapa pasal dalam UUSPN No. 20/2003, maka semakin jelaslah bahwa kedudukan PAI pada kurikulum sekolah dari semua jenjang dan jenis sekolah dalam perundang-undangan yang berlaku sangat kuat.
Dalam PP No 19 Thn 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Selanjutnya pada pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Dari beberapa landasan perundang-undangan di atas sangat jelas bahwa pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan jalur pendidikan. Dengan demikian, eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum.
Sementara itu, bila dilihat dari proses pengembangan kurikulum, maka ketika KBK diterapkan di beberapa sekolah sejak tahun 2004 atau bahkan ada yang telah menetapkannya sejak tahun 2003, maka kurikulum itu masih dalam taraf uji coba (eksperimen) dan belum ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap mereka yang telah melakukan eksperimen KBK tersebut, sehingga di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 pada pasal 8 dinyatakan bahwa “Bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan “Kurikulum 2004”. Dengan kata lain satuan pendidikan dapat memilih di antara kedua kurikulum tersebut. Bagi sekolah atau madrasah yang menetapkan kurikulum 2004, bahan ujian disesuaikan dengan kurikulum 2004.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) antara lain menggunakan pendekatatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Menitik beratkan pencapaian target (attainment targets) kompetensi dari pada penguasaan materi.
b. Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c. Memberikan kebebasan yang luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa esensi pengembangan KTSP adalah “mengembangkan pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik”. Karena itulah kurikulum yang dikembangkan di pusat cukup sebagai rambu-rambu umum tentang standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai. Di pusat tidak perlu sampai mengatur urutan perbulan/minggu dan seterusnya, yang diberlakukan untuk sekolah/madrasah di daerah, apalagi sampai memaksakan suatu metode dan teori mengajar tertentu.
Terkait dengan hal di atas, pendidikan agama yang hanya 2 (dua) Jam Pelajaran perminggu, dapat disiasati oleh para guru agama dalam mencapai tujuan pembelajaran. Guru agama memiliki keleluasaan dalam mengembangkan materi agama sehingga tidak selalu terpaku pada pencapaian target dari rentetan materi yang ada, tetapi lebih terfokus pada tercapainya tujuan dari setiap sub bahasan yang disampaikan.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com http://grosirlaptop.blogspot.com


Di dalam teori kurikulum setidak-tidaknya terdapat 4 pendekatan dalam pengembangan kurikulum di antaranya, yaitu: pendekatan subyek akademik; pendekatan humanistik; pendekatan teknologi; dan pendekatan rekonstruksi sosial.
a. Model Pengembangan Kurikulum melalui Pendekatan Subjek Akademis
Pendekatan ini adalah pendekatan yang tertua, sejak sekolah yang pertama berdiri kurikulumnya mirip dengan tipe ini. Pendekatan subyek akademik dalam menyususn kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu yang berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subyek akademik dilakukan dengan cara menetapkan lebih dulu mata pelajaran/mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu. Tujuan kurikulum subyek akademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses penelititan.
b. Model Pengembangan Kurikulum Melalui Pendekatan Humanistik
Pendekatan Humanistik dalam pengembangan kurikulum bertolah dari ide memanusiakan manusia. Penciptaan jkonteks yang memberi peluang manusia untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengmbangan program pendidikan.
Kurikulum pada pendekatan ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1) Partisipasi, kurikulum ini menekankan partisipasi murid dalam belajar. Kegiatan belajar adalah belajar bersama, melalui berbagai bentuk aktivitas kelompok. Melalui vartisivasi kegiatan bersama, murid-murid dapat mengadakan perundingan, persetujuan, pertukaran kemampuan, bertanggung jawab bersama, dan lain-lain. Ini menunjukkan cirri yang non- otoriter
2) Intergrasi, melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok terjadi interaksi, interpenetrasi, dan integrasidari pemikiran, dan juga tindakan.
3) Relevansi, isi pendidikan relevan dengan kebutuhan, minat dan kebutuhan muridkarena diambil dari dunia murid oleh murid sendiri.
4) Pribadi anak, pendidikan ini memberikan tempat utama pada pribadian anak.
5) Tujuan, pendidikan ini bertujuan pengembangan pribadi yang utuh, yang serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungan secara menyeluruh.
c. Model Pengembangan Kurikulum Melalui Pendekatan Teknologi
Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Pembelajaran PAI dikatakan menggunakan pendekatan teknologis, bila mana yang menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan menilainya.
Pendekatan teknologis ini sudah tentu mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain: ia terbatas pada hal-hal yang bisa dirancang sebelumnya. Karena dari itu pendekatan teknologis tidak selamanya dapat digunakan dalam pembelajaran PAI. kalau kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam hanya sampai kepada penguasaan materi dan keterampilan menjalankan ajaran agama, mungkin bisa mengunakan pendekatan teknologis, sebab proses dan produknya bisa dirancang sebelumnya.
Pesan-pesan pendidikan agama Islam tidak semua dapat didekati secara teknologis. Sebagai contoh: bagaimana membentuk kesadaran keimanan peserta didik terhadap Allah Swt., malaikatnNya, kitab-kitabNy dan lainnya. Masalah kesadaran keimanan banyak mengadung masalah yang abstrak, yang tidak hanya dilihat dari perilaku riil atau konkritnya. prinsip efisiensi dan efektivitas (sebagai ciri khas pendekatan teknologis) kadang kala juga sulit untuk dicapai dan dipantau oleh guru, karena pembentukan keimanan, kesadaran pengamalan ajaran Islam dan berakhlak Islam, sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan agama Islam, memerlukan proses yang relatif lama, yang sulit dipantau hasil belajarnya dengan hanya mengandalkan pada kegiatan belajar-mengajar di kelas dengan pendekatan teknologis. Kerena itu perlu menggunakan pendekatan lain yang bersifat non-teknologis.
d. Model Pengembangan Kurikulum Melalui pendekatan Rekonstruksi Sosial
Pendekatan Rekonstruksi Sosial dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat, untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju pembentukkan masyarakat yang lebih baik.
Kurikulum rekonstruksi sosial disamping menekankan isi pembelajaran atau pendidikan juga sekaligus menekankan proses pendidikan dan pengalaman belajar. Pendekatan rekonstruksi sosial berasumsi bahawa manusia adalah sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lain, selain hidup bersama, berinteraksi dan bekerja sama.
Isi pendidikan terdiri atas problem-problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat. Proses pendidikan atau pengalaman belajar peserta didik berbentuk kegiatan-kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan kerja sama, baik antar peserta didik, peserta didik dengan guru/dosen dengan sumber-sumber belajar yang lain. Karena itu, dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan PAI bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi PAI, sedang proses atau pengalaman belajar peserta didik adalah dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooparatif dan kolaboratif, berupaya mencari pemecahan terhadap problem tersebut menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Model pembelajaran PAI berwawasan rekonstruksi sosial dapat digambarkan di bawah ini sebagai berikut.
Gambar 1.1
MODEL PEMBELAJARAN PAI BERWAWASAN REKONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT (SOCIETY)

Dari gambar di atas dapat disejelaskan bahwa, peserta didik terjun kemasyarakat dengan dilandasi oleh internalisasi ajaran dan nilai-nilai Islam, yang mengandung makna bahwa setiap langkah dan tahap kegiatan yang hendak dilakukan dimasyarakat selalu dilandasi oleh niat yang suci untuk menjunjung tinggi ajaran dan nilai-nilai fundamental Islam sebagaimana yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah/hadis Rasulullah Saw., serta berusaha membangun kembali masyarakat atas dasar komitmen, loyalitas dan dedikasi sebagai pelaku terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam tersebut.
1. Tahap Analisis
a. GAPI dan peserta didik mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan. Hasil yang diharapkan adalah teridentifikasinya: (1) konteks atau karakteristik masyarakat yang menghadapi problem; (2) katagori permasalahan atau problem yang ada dimasyarakat; (3) tema-tema pelajaran PAI; (4) skala prioritas tema pelajaran PAI.
b. Analisis tugas. Hasil yang diharapkan adalah teridentifikasinya: (1) berbagai kebutuhan pembelajaran PAI yang mampu menyelesaikan problem yang ada di masyarakat atau kualifikasi yang diharapkan dengan hasil kinerja berdasarkan persyaratan yang tertuang dalam uraian tugas yang meliputi: pengetahuan, keterampilan, sikap dalam menjalankan tugas yang diharapkan; (2) berbagai posisi yang memerlukan dukungan pembelajaran guna memecahkan masalah yang dihadapi, seperti posisi GPAI, kelompok-kelompok peserta didik, tokoh-tokoh masyarakat, masyarakat yang menjadi subjek dan sasaran program pembelajaran PAI.
c. menentukan peserta atau siapa yang menjadi subjek dan apa sasaran program. Hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan; (1) tersusunnya klasifikasi peserta; (2) kriteria peserta berdasarkan hasil penjagagan kebutuhan dan uraian tugas yang ada yang dapat mempengaruhi tingkat kedalaman tujuan, penyusunan materi, dan pemilihan metode.
2. Tahap Desain
a. Merumuskan tujuan dan target pembelajaran PAI.
b. Merancang program pembelajaran PAI (tema pokok, pendekatan dan metode, media dan sumber belajar, serta evaluasinya)
c. Menetapkan waktu dan tempat pelaksanaannya.
Pada tahap desain (a, b, dan c), hasil yang diharapkan adalah tersusunnya rencana dasar penyelenggaraan pembelajaran PAI di masyarakat yang mencakup: (1) tujuan pembelajaran PAI; (2) pokok-pokok dan sub pokok bahasan; (3) metode dan media pembelajaran; (4) kriteria dan jumlah peserta yang menjadi subjek dan sasaran pembelajaran PAI; (5) kriteria atau kualifikasi fasilitator dan jumlah fasilitator yang dibutuhkan; (6) waktu penyelenggaraan dan perincian waktu; (7) teridentifikasinya tempat penyelenggaraan; (8) jumlah anggaran biaya yang dibutuhkan; (9) komponen pendukung lainnya.
Mengembangkan dalam proposal atau TOR (Team of reference), yang berisi; (1) latar belakang/pendahuluan, yang menjelaskan berbagai permasalahan atau sense of crisis dan alasan pelaksanaan program; (2) pernyataan tujuan yang menyangkut tujuan umum atau khusus; (3) pokok-pokok bahasan materi pelajaran PAI, sehingga permasalahan dapat terpecahkan; (4) pendekatan dan metode, yakni uraian singkat tentang pendekatan dan cara bagaimana pokok bahasan akan diproses untuk mencapai tujuan; (5) fasilitator dan program, yakni kualifikasi atau persyaratan dan atau kriteria fasilitator yang dibutuhkan serta jumlah yang dikehendaki, serta menguraikan kualifikasi atau persyaratan dan jumlah peserta yang akan dikenai sasaran pembelajaran PAI; (6) komponen-komponen lain yang bersifat logistik, seperti tempat, waktu, dan lain-lainnya.
3. Tahap Implementasi
Yakni pelaksanaan program atau implementasi terhadap apa yang tertuang dalam TOR. Dlam hal ini prlu dibuat skenario pembelajran PAI, yang berisi: (1) beberapa jumlah hari yang diperlukan; (2) perincian materi dari tema pokok pembelajaran PAI yang dipelajari, dialami serta diinternalisasi oleh peserta dalam beberapa sesi; (3) perincian skenario kegiatan pembelajaran, misalnya: materi 1 tentang apa, butuh berapa sesi, topik masing-masing sesi yang merupakan penjabaran dari materi, apa kegiatan fasilitator dan peserta, berapa waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing kegiatan.
4. Tahap evaluasi dan umpan balik
Yakni evaluasi pelaksanaan programnya sehingga ditemukan titik-titik kelebihan dan kelemahannya, dan melalui evaluasi tersebut akan diperoleh umpan balik untuk diselanjutnya direvisi programnya untuk perbaikan pelaksanaan pembelajaran PAI berwawasan rekonstruksi sosial di masa yang akan datang.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Penanaman Nilai Religius dalam Pengembangan PAI di Sekolah
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia, maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi religius dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi religius mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi religius tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri:
a. Lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaan materi.
b. Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c. Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan.

Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.

Kalau ditilik dari tinjauan pendidikan nasional, visi dan misi pendidikan nasional sekurang-kurangnya diorientasikan kepada usaha pembebasan bangsa dari himpitan berbagai persoalan yang sebagian telah diuraikan. Beberapa hal mengenai prisip-prinsip strategis pengembangan pendidikan nasional dapat diuraikan di sini, sebagai berikut.

a. Orientasi pengembangan sumber daya. Hal demikian dapat dimaknai: Pertama, keputusan-keputusan pendidikan selalu mengacu ke masa depan. Kalkulasi yang kita buat adalah seberapa jauh pemikiran dan langkah tindakan pendidikan merupakan sesuatu yang dibutuhkan di masa depan. Kedua, pendidikan merupakan usaha menyiapkan manusia, khususnya generasi muda untuk kehidupan masa depan. Dalam pengertian ini pendidikan diorientasikan berfungsi sebagai antisipatiry learning system. Melalui orientasi ini dipahami bahwa keterpurukan bangsa ini bisa diobati dan disembuhkan dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh yang berwujud manusia-manusia yang cerdas secara intelektual, sosial, dan spiriual, serta memiliki dedikasi dan disiplin, jujur, tekun, ulet, dan inovatif.

b. Pengembangan menuju pendidikan multikulturalis. Nabi Muhammad saw. pada empat belas abad yang lalu mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membagun sebuah masyarakat madani (civil society, masyarakat berkeadaban). Islam, khususnya dan utamanya, menjadikan rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi para penganutnya untuk ber-ta’aruf dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat yang berbeda latar belakang agama, sosial, dan budaya. Prinsip seperti inilah yang hendaknya kita transformasikan kembali ke dalam kerangka pendidikan untuk menghadapi masyarakat yang sedang dilanda konflik. Dalam masyarakat (dalam negeri maupun internasional) yang demikian majemuk, pendidikan perlu dikemas dalam watak multikultural, ramah menyapa perbedaan agama, sosial, dan budaya.

c. Spiritual watak kebangsaan sebagai fondasi dari bangunan kebangsaan adalah iman. Secara historis-empiris kehidupan Nabi Muhammad saw. memberikan pengalaman keberhasilan dalam membangun peradaban masyarakat yang pada zamannya telah dilanda krisis identitas yang parah, yang dikenal denga masyarakat jahiliyah. Keberhasilan itu tidak lain bertumpu pada jiwa keimanan ang dibangun secara berkesinambungan (sustuinable) sehingga sampai pada proses spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun suatu bangsa yang beradab. Percaya dan bisa dipercaya adalah inti keimanan seseorang.

Dengan demikian pendidikan agama Islam diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai religius yang dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan yang saling terkait satu sama lainnnya, yaitu:
a. Creative values (nilai-nilai kreatif), dalam hal ini berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.
b. Experimental values (nilai-nilai penghayatan); meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan nilai-nilai yang dianggap berharga.
c. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap); menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal, tetapi tidak berhasil mengatasinya.

Menurut Sukidi, religiusitas pendidikan mendasarkan bangunan epistimologinya ke dalam tiga kerangka ilmu yaitu: dasar filsafat, tujuan, dan nilai serta orientasi pendidikan. Pertama, dasar filsafat religiusitas pendidikan adalah filsafat teosentrisme yang menjadikan Tuhan sebagai pijakannya. Kedua, tujuan religiusitas pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan sebagai wujud pengabdian kepada-Nya. Hal tersebut bisa diartikan bahwa kehidupan duniawi bukan tujuan final, tetapi sekadar gerbong menuju kehidupan yang kekal dan abadi sebagai tujuan final perjalanan hidup manusia. Ketiga, nilai dan orientasi religiusitas pendidikan menjadikan iman dan taqwa sebagai ruh dalam setiap proses pendidikan yang dijalankan.

Berdasarkan ketiga kerangka konsep religiusitas pendidikan di atas dapat diartikan bahwa religiusitas pendidikan menumbuhkan kecerdasan spiritual kepada siswa dalam pendidikan dan kehidupan. Religiusitas pendidikan melalui kecerdasan spiritual juga memberi guide line kepada guru untuk mengajarkan arti pentingnya religiusitas kepada para peserta didiknya. Religiusitas pendidikan menajamkan kualitas kecerdasan spiritual terhadap guru maupun siswa, hal tersebut dilakukan dengan menginternalisasikan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan, kesetiakawanan sosial kepada siswa sejak usia dini, dan untuk guru juga dapat memperoleh hal tersebut melalui sikap keteladan dalam setiap proses yang terjadi dalam pendidikan. Semua hal tersebut tentu saja tidak bisa terlepas dari peran Pendidikan Agama Islam beserta pengembangannya termasuk dalam mewujudkan budaya religius sekolah.

Bila dicermati bahwa kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, pendidikan sebagai praksis pembangunan bangsa menampakkan wujudnya dalam berbagai pranata (institusi) pendidikan, seperti guru dan pemimpin pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga keagamaan, pusat-pusat keilmuan, dan pusat-pusat seni dan budaya. Melalui pranata-pranata kependidikan itu, berbagai kekuatan pendidikan mejadi kekuatan riil bagi proses pembangunan bangsa berarti pula memfungsikan dan mendinamiskan peranan pranata-pranata kependikan itu secara terpadu dan berkelanjutan.

Untuk mengetahui peranan pranata-pranata kependidikan tersebut, di bawah ini akan diurai secara garis besar sebagai berikut:
Pertama, peranan guru dan pemimpin pendidikan. Semua pihak melihat dan merasakan bahwa keberadaan serta kiprah guru dan pemimpin pendidikan di mana saja berada dan dari waktu ke waktu, merupakan kunci terlaksananya berbagai bentuk dan jenis kegiatan pendidikan formal dan nonformal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (komunitas basis). Bahkan, dapat dikatakan merekalah yang paling mengetahui dan merasakan betapa berat misi dan tangung jawab yang diemban dan harus dilaksanakan dalam rangka mencerdasakan dan memajukan peserta didiknya menjadi warga bangsa yang maju (modern) dan berkeadaban.

Kedua, peranan lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Dunia sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi merupakan perwujudan yang dibangun dan dikembangkan atas dasar sistem dan kebijakan tertentu untuk mewujudkan pendidikan formal secara nasional. Apa yang disebut sebagai “sistem pendidikan nasional”, pada dasarnya adalah serangkaian kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan nasional yang “berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945”.

Ketiga, peranan lembaga-lembaga keagamaan sebagai wadah kegiatan pendidikan yang bersifat khusus dan nonformal, seperti pondok pesantren, tempat-tempat ibadah, dan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Keberadan dan kiprah lembaga-lembaga keagamaan itu terus tumbuh dan berkembang semakin kokoh serta berakar pada tataran komunitas basis umat. Peranan yang paling menonjol bisa ditunjukkan, di antaranya adalah: a) menerjemahkan nilai-nilai dan noma-norma agama sebagai kekuatan yang mendasari cita-cita dan motivasi berbagai kegiatan dalam seluruh aspek kehidupan; b) mendorong dan membimbing masyarakat dan umat ke arah kemajuan melalui ikatan-ikatan sosial dan kultural maupun tradisi-tradisi yang dimilikinya; dan c) menanamkan sifat-sifat dan perilaku yang terpuji dan luhur bagi terciptanya peradaban yang religius.

Keempat, peranan pusat-pusat keilmuan sebagai wadah kegiatan penelitian, pembelajaran, dan pelatihan. Peran pusat-pusat keilmuan itu antara lain: a) memanaj sumber-sumber keilmuan itu sebagai kekuatan yang mendukung pendidikan akademis, profesi, dan ketrampilan; b) menjembatani dan menginformasikan sumber-sumber keilmuan itu untuk memajukan dan memperbarui sistem dan kebijakan pendidikan nasional; dan c) memelihara dan sekaligus mengembangkan sumber-sumber keilmuan itu sebagai bagian dari kenyataan dan kebanggaan bangsa dan negara.

Kelima, peranan pusat-pusat seni dan budaya sebagai wadah kegiatan pendidikan dan kebudayaan, seperti museum dan sanggar-sanggar seni beserta budaya yang tersebar di berbagai daerah. Peran utamanya antara lain: a) menerjemahkan nilai-nilai seni dan budaya sebagai landasan proses pembangunan bangsa; b) memposisikan seni dan budaya sebagai kekuatan riil dalam proses pembangunan bangsa; dan c). Memelihara dan mengembangkan seni dan budaya sebagai kekayaan dan kebanggaan bangsa.

Rujukan:
1. Malik Fadjar. Holistika Pemikiran Pendidikan. Bandung: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 71-72.
2. Komaruddin Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. xii-8.
3. Malik Fadjar, Visi Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998, hal. 31
4. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 291
5. http://www.puskur.net/inc/si/smp/PendidikanAgamaIslam.pdf. hal. 1
6. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/25/opini/spir04.htm

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com

Problematika PAI di Sekolah
Berbagai hasil penelitian tentang problematika PAI di sekolah selama ini, ditemukan salah satu faktornya adalah karena pelaksanaan pendidikan agama cenderung lebih banyak digarap dari sisi-sisi pengajaran atau didaktik-metodiknya. Guru-guru PAI sering kali hanya diajak membicarakan persoalan proses belajar mengajar, sehingga tenggelam dalam persoalan teknis-mekanis semata. Sementara itu persoalan yang lebih mendasar yaitu yang berhubungan dengan aspek pedagogisnya, kurang banyak disentuh. Padahal, fungsi utama pendidikan agama di sekolah adalah memberikan landasan yang mampu menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik melakukan perbuatan yang mendukung pembentukan pribadi beragama yang kuat.

Tiga hal menurut Hidayat yang bisa dikemukakan untuk membuktikan kekurang-tepatan orientasi pendidikan dimaksud, yaitu:
a. Pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama.
b. Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, justru terlewatkan, misalnya pelajaran keimanan/tauhid.
c. Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.

Dari berbagai seminar dan simposium yang dilakukan, baik oleh Departemen Agama, PTAI, maupun lembaga swadaya masyarakat lainnya, dapat dihimpun berbagai faktor penyebab kurang efektifnya pendidikan agama di sekolah sebagai berikut:
a. Faktor internal, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri guru agama, yang meliputi: kompetensi guru yang relatif masih lemah, penyalahgunaan manajemen penggunaan guru agama, pendekatan metodologi guru yang tidak mampu menarik minat peserta didik kepada pelajaran agama, solidaritas guru agama dengan guru non-agama masih sangat rendah, kurangnya waktu persiapan guru agama untuk mengajar, dan hubungan guru agama dengan peserta didik hanya bersifat formal saja.
b. Faktor Eksternal, yang meliputi: sikap masyarakat/orangtua yang kurang concern terhadap pendidikan agama yang berkelanjutan, situasi lingkungan sekitar sekolah banyak memberikan pengaruh yang buruk, pengaruh negatif dari perkembangan teknologi, seperti internet, play station dan lain-lain.
c. Faktor Institusional yang meliputi sedikitnya alokasi jam pelajaran pendidikan agama Islam, kurikulum yang terlalu overloaded, kebijakan kurikulum yang terkesan bongkar pasang, alokasi dana pendidikan yang sangat terbatas, alokasi dana untuk kesejahteraan guru yang belum memadahi dan lain sebagainya.
Secara lebih operasional, problem PAI dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dari proses belajar-mengajar, guru PAI lebih terkonsentrasi persoalan-persoalan teoritis keilmuan yang bersifat kognitif semata dan lebih menekankan pada pekerjaan mengajar/ transfer ilmu
b. Metodologi pengajaran PAI selama ini secara umum tidak kunjung berubah, ia bagaikan secara konvensional-tradisional dan monoton sehingga membosankan peserta didik.
c. Pelajaran PAI seringkali dilaksanakan di sekolah bersifat menyendiri, kurang terintegrasi dengan bidang studi yang lain, sehingga mata pelajaran yang diajarkan bersifat marjinal dan periferal.
d. Kegiatan belajar mengajar PAI seringkali terkonsentrasi dalam kelas dan enggan untuk dilakukan kegiatan praktek dan penelitian di luar kelas.
e. Penggunaan media pengajaran baik yang dilakukan guru maupun peserta didik kurang kreatif, variatif dan menyenangkan.
f. Kegiatan belajar mengajar (KBM) PAI cenderung normatif, linier, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya di mana lingkungan peserta didik tersebut berada, atau dapat dihubungkan dengan perkembangan zaman yang sangat cepat perubahannya.
g. Kurang adanya komunikasi dan kerjasama dengan orangtua dalam menangani permasalahan yang dihadapi peserta didik.

Berbagai problem tersebut muncul tentunya tidak terlepas dari kebijakan yang berkaitan pelaksanaan Pendidikan Agama (baca : Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum), baik yang berupa kebijakan ekternal yang berasal dari pemerintah maupun kebijakan internal (institusional) sebagai bentuk operasionalisasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum.

Berbagai kebijakan yang ada tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak dikemas dalam sistem pembelajaran yang efektif dan efisien. Tugas ini harus diemban oleh seluruh lapisan masyarakat terutama para pelaksana pendidikan yang bersentuhan langsung dengan sistem pendidikan.
Fenomena di atas nampaknya sudah mulai disadari oleh para pelaksana pendidikan di Sekolah Umum. Keterbatasan alokasi waktu untuk Mata Pelajaran PAI harus diperkaya dengan berbagai strategi baik dalam kebijakan maupun dalam proses pembelajarannya. Keberadaan PAI tidak hanya dipandang sebagai salah satu Mata Pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi lebih dari itu keberadaanya terkait dengan mata kuliah lainnya. Dengan demikian, porsi untuk Mata Pelajaran PAI bisa lebih memadahi dengan kebijakan tersebut.

Sementara itu, menurut Malik Fajar, untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka perlu digunakan dua konsep pendekatan, yaitu: (1). Macrocosmis (tinjauan makro) yakni pendidikan dianalisis dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas. (2). Microcosmis (tinjauan mikro), yakni pendidikan yang dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup dimana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri.

Rujukan:
1. Malik Fadjar. Holistika Pemikiran Pendidikan. Bandung: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 195
2. Komaruddin Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. xii-8.
3. Malik Fadjar, Visi Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998, hal. 31

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com

Ruang Lingkup, Tujuan, Fungsi dan Pendekatan PAI di Sekolah
Dalam Pedoman Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dijelaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah memuat materi al-Quran dan Hadis, Aqidah/Tauhid, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ruang lingkup tersebut menggambarkan materi pendidikan agama yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablum minallah, hablum minannas wahablum minal ’alam).

Pendidikan agama di sekolah bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya terhadap Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membetuk peserta didik agar menajadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.

Malik Fajar dalam bukunya Holistika Pemikiran Pendidikan Islam”menggambarkan pendidikan seperti” ibadah haji. Diungkapkannya bahwa ibadah haji merupakan totalitas ibadah manusia kepada Tuhan. Suatu ibadah yang mensyaratkan akumulasi berbagai ”kemampun” (istitha’ah), antara lain: kemampuan fisik, akal, dan spiritual serta materi. Ibadah haji tidak akan sempurna bila para jama’ah yang melaksanakannya memiliki kekurangan dari beberapa kemampuan dasar tersebut.

Dalam kaitannya dengan era globalisasi saat ini, maka dibutuhkan adanya kepekaan intelektual (intelectual ability) dan emosional (emotional maturity) secara seimbang untuk menghadapi aneka persoalan dasar yang mendera umat manusia. Karena itu, pendidikan Islam sudah sepatutnya mengagendakan aksi-aksi pemecahan masalah yang layak, tepat, dan efektif terhadap berbagai permasalahan yang sedang dan akan dihadapi oleh para peserta didik.

Oleh karena itu, pendidik diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai agama. Peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam.

Adapun secara lebih spesifik, tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Tingkat Atas sebagai fokus dari penelitian ini antara lain:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Sedangkan pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah umum berfungsi untuk:
a. Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik secara optimal, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga.
b. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman dalam meniti kehidupan untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia ini maupun di akherat kelak.
c. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui penanaman nilai-nilai pendidikan agama Islam yang berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan.
d. Perbaikan kesalahpahaman, kesalahan dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif baik yang berasal dari pengaruh budaya asing maupun kehidupan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
f. Pengajaran tentang pengetahuan ilmu keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya dalam kehidupan sehingga terbentuk peribadi muslim yang sempurna.
g. Penyiapan dan penyaluran peserta didik untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pesrpektif pengembangan kurikulum, terdapat tiga kategori pendekatan dalam penyelenggaraan pendidikan agama, yaitu:
a. Pendekatan sistem/teknologi (technology based curriculum).
b. Pendekatan berpusat pada peserta didik/humanistik (learner based curriculum).
c. Pendekatan berpusat masalah/inkuiri (problem based curriculum).

Pendekatan sistem/teknologi (technology based curriculum) yaitu kurikulum dikembangkan berdasarkan sistematisasi disiplin keilmuan. Pembelajaran dikembangkan menggunakan proses linier atau progresif di mana isi yang diajarkan dapat dianalisis secara kritis, dibagi dalam segmen-segmen dan diorganisasikan ke dalam batang tubuh keilmuan (body of knowledge) secara berurutan dengan hasil belajar peserta didik yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pendekatan ini sangat berstandar, meski tidak secara eksklusif. Pada hal-hal atau kemampuan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang membutuhkan penekanan penguasaan secara kompeten, diperlukan proses kedisiplinan yang ketat dan metode pembelajaran yang konvergen. Pendekatan ini mempersyaratkan pencapaian standar kualifikasi kompetensi keilmuan yang di persyaratkan, penguasaan keteramilan sesuai prosedur/tata asa, sistem penilaian harus teruji atau terukur secara jelas sesuai penguasaan standar kompetensinya.

Pendekatan ini antara lain melahirkan yang sekarang disebut dengan pendekaran kurikulum berbasis kompertensi (KBK).
Pendekatan berpusat pada peserta didik/humanistik (learner based curriculum), memandang pengajaran lebih holistik di mana belajar difokuskan dengan arah yang jelas untuk membantu pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal. Pengembangan kurikulum lebih menekankan pada pelayanan peserta didik menemukan makna dalam belajar sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, serta mengakomodasi kebutuhan pengembangan kemampuan, minat, bakat dan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik.

Pendekatan ini menekankan model pembelajaran interdisipliner atau integrated curriculum yang didasarkan pada psikologi humanistik dimana pengembangan individu (domain afektif)sama pentingnya dengan apa yang akan diajarkan (domain kognitif). Guru sering mengacu pada “teachable moment” ketika peserta didik memperlihatkan minat khusus pada bidang pengetahuan tertentu. Guru membimbing peserta didik dalam mengeksplorasi topik/tema terhadap pembelajaran baru tersebut. Pendekatan ini sekarang banyak digunakan dalam pengembangan kurikulum pendidikan anak usia dini (PAUD), yaitu pendidikan anak usia 3-4 tahun sampai 8 tahun atau pendidikan TK–SD/MI kelas 1-3 dengan pembelajarn tematik, pembelajaran IPS, dan pembelajaran IPA terpadu.

Pendekatan berpusat masalah/inkuiri (problem based curriculum) memandang pembelajaran merupakan proses mencari dan menemukan makna. Dalam proses pembelajaran lebih menekankan pada kemampuan menetapkan ideologi ilmiah yang digunakan pada setiap disiplin ilmu yang diajarkan. Pembelajaran apapun yang digunakan harus mampu membangun keterampilan inkuiri ilmiah peserta didik serta menjadikannya sebagai kendaraan dalam mempelajari isi yang diajarkan. Pendekatan ini disadarkan pada psikologi gestalt dan teori belajar perseptual/lapangan dimana pembelajaran dipandang sebagai proses unik dan individualistik. Tiap individu mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dipelajari sebelumnya dan kontek lingkungan melalui konektor atau penghubung otak. Proses ini menghasilkan pembelajaran pengalaman “menakjubkan” yang muncul bersama dengan makna bagi individu yang melakukan inkuiri. Pendekatan ini sekarang banyak diterapkan antara lain dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Llearning (CTL), Problem Based Learning (PBL), PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menarik/Menyenangkan), pendidikan kecakapan hidup (life skill) dan lainnya.

Dilihat dari posisi dan hubungannya dengan mata pelajaran lain, terdapat tiga paradigma yang digunakan dalam mengembangkan pendidikan Agama Islam, yaitu :
a. Paradigma Dikotomis
Dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikoto¬mi atau diskrit, sehingga dikenal ada istilah pendidikan agama dan pendidikan umum. Karena itu, pengembangan pendidikan agama Islam hanya berki¬sar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non agama.

b. Paradigma Mekanis
Paradigma mekanis memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penana¬man dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fung-sinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.

Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas: nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidu¬pan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (inde¬pendent) atau lateral-sekuensial.

c. Paradigma Organis
Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan funda¬mental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mem¬punyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Ilahi/agama.

Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengeta¬huan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.

Setidaknya, apa yang diwarningkan oleh Tilaar cukup menjadi dasar pilihan paradigma tersebut. Menurutnya, apabila ilmu-ilmu agama diposisikan secara terpisah (formisme) atau dalam posisi sejajar (mekanisme), maka akan sangat membahayakan eksistensi kehidupan manusia. Misalnya kasus kloning yang mulai dikembangkan pada manusia sebagai bentuk kemajuan dari bioteknologi adalah wujud kongrit ketika agama dan ilmu pengetahuan diposisikan dalam hubungan yang terpisah dan independent (horizontal-lateral).

Sedangkan berbagai pendekatan pembelajaran pendidikan agama di sekolah yang dapat dilakukan oleh para guru agama antara lain:
a. Keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk jagad ini.
b. Pengamalan, memberikan kesempatan peserta didik untuk mempraktikkan dan merasakan hasil pengamalan ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan.
c. Pembiasaan, memberikan kesempatan peserta didik untuk berperilaku baik sesuai ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
d. Rasional, usaha memberikan peranan pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan bahan ajar dalam materi pokok serta kaitannya dengan perilaku baik dan buruk dalam kehidupan duniawi.
e. Emosional, upaya menggugah perasaan atau emosi peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai ajaran agama dan budaya bangsa.
f. Fungsional, menyajikan semua materi pokok dan manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
g. Keteladanan, menjadikan figur guru agama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua sebagai cermin manusia berkepribadian agama.

Dengan demikian, para pakar dan praktisi pendidikan khususnya PAI apabila merujuk pada ruang lingkup, fungsi dan pendekatan PAI sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Kurikulum PAI di sekolah sudah sangat lengkap dan meliputi seluruh unsur domain peserta didik, baik dari kognitif, afektif maupun psikomotorik. Namun dalam prakteknya di lapangan, masih ada bagian ruang lingkup, fungsi dan pendekatan PAI yang tidak dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan ditambah rendahnya daya serap siswa terhadap materi yang diterima. Dari akar permasalahan inilah akhirnya memunculkan problematika PAI di sekolah.

Daftar Pustaka:
1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK, Lampiran 3, hal. 1
2. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 159-160
3. Penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
4. A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hal. 44-68.
5. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK, Lampiran 3, Ibid., hal. 2
6. Muhaimin dkk., Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Op.Cit., hal. 6-8.
7. H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad XXI, Magelang: Tera Indonesia, 1998, hal. 260.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com