Arsip

Bimbingan Konseling

Peran Bimbingan dan Konseling dalam Mengatasi Kesulitan Belajar
Tujuan pendidikan nasional berlaku bagi semua jenis sekolah dan dilaksanakan dengan ciri-ciri khas dari setiap jenjang pendidikan sekolah. Dengan kata lain, tujuan institusional harus diselaraskan dengan tujuan pendidikan nasional dan merupakan suatu konsentrasi yang harus membawa tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Untuk mencapai tujuan pendidikan siswa perlu dapat bimbingan agar mereka dapat membina sebanyak mungkin dari pengalaman disekolah. Akan tetapi kemampuan guru dalam membimbing anak didiknya terbatas, sedangkan masalah yang dihadapi anak didik semakin hari semakin kompleks. Dari semacam kondisi inilah peranan bimbingan dan penyuluhan diperlukan, dalam rangka memanimalisasi kesulitan yang dihadapi oleh siswa.

Tujuan akhir pelayanan bimbingan ini sama dengan tujuan pendidikan di sekolah, tetapi cara untuk sampai pada tujuan itu lain yang digunakan dalam bidang-bidang pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh W.S. Winkel :
Bimbingan disekolah menengah merupakan bidang khusus dalam keseluruhan pendidikan sekolah yaitu memberikan pelayanan yang ditangani oleh ahli-ahli yang telah disiapkan untuk itu. Ciri khas dari pelayanan ini terletak dalam hal memberikan bantuan mental atau psikologis kepada murid dalam membulatkan perkembangannya. Tujuan dari pemberian bimbingan ialah supaya setiap murid berkembang sejauh mungkin untuk mengambil manfaat sebanyak mungkin dari pengalamannya disekolah, mengingat ciri-ciri pribadinya dan tuntunan kehidupan dalam masyarakat sekarang. (Winkel, 1991:28)

Dengan adanya peranan dan bimbingan terserbut diharapkan semua persoalan yang dihadapi anak didik dapat diantisipasi sedini mungkin. Menurut Bimo Walgito bimbingan dan penyuluhan di sekolah dapat dilaksanakan dengan bermacam sifat :
1. Preventif, yaitu bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah jangan sampai timbul kesulitan yang menimpa diri anak atau individu.
2. Korektif, yaitu memecahkan dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh individu.
3. Preservatif, yaitu memelihara atau mempertahankan yang telah baik, jangan sampai menjadi keadaan yang tidak baik (Walgito, 1984:26)

Dari uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa peranan dari pada bimbingan dan penyuluhan sangat diperlukan oleh siswa dalam rangka untuk mencapai tujuan dari pada pendidik dan pengajaran.

Daftar Rujukan:
1. Ahmad, Abu 1978. Psikologi Pendidikan. Semarang: Rineka Cipta
2. Ahmadi, Abu dan Achmad Rohani. 1991. Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka Ilmu
3. AM, Sadirman . 1987. Interakasi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: CV. Rajawali
4. Anshari, Hafi. 1983. Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional
5. Arifin, M. 1994. Teori Konseling Umum dan Agama, Jakarta: Golden Terayon Press.
6. Hamalik, Oemar, 1990, Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito
7. Hamalik, Oemar. 1992, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo
8. Moleong, Lexy J. 1998. Meteodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
9. Mapiare, Andi. 1989. Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Surabaya: Usaha Nasional
10. Poerwadarminta, W.J.S. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
11. Partowisastro, Koestoer. 1984. Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Jakarta: Erlangga.
12. Surahmat, Winarno. 1989. Pengantar Penelitian, Dasar-dasar dan Teknik, Bandung: Tartito.
13. Sukardi, Dewa Ketut. 1983. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional.
14. Suryabrata, Sumadi. 1992. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: CV. Rajawali
15. Walgito, Bimo. 1995. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogkayarta: Andi Offset.

Langkah-langkah dalam pemecahan kesulitan belajar menurut Koestoer Partowisastro dalam bukunya “Diagnosa dan pemecahan kesulitan belajar” mengatakan sebagai berikut :
(1) Kegiatan membicarakan dengan Kepala Sekolah tentang adanya murid-murid yang bermasalah dan usaha yang perlu dilakukan berkenan dengan masalah-masalah tersebut.
(2) Kegiatan mengamati dan mencatat pola-pola tingkah laku murid yang sering muncul (berulang) menjadi petunjuk adanya masalah.
(3) Kegiatan mempelajari kembali “Commulative Record”.
(4) Berbicara dengan guru-guru lain.
(5) Kegiatan berkonsultasi dengan juru rawat.
(6) Kegiatan berwawancara dan menyuluhi murid yang bersangkutan.
(7) Kegiatan jika perlu, melakukan referial.

a. Berbicara dengan Kepala Sekolah
Kepala Sekolah adalah penanggung jawab keseluruhan kegiatan sekolah, termasuk kegiatan bimbingan dan penyuluhan. Oleh karena itu para petugas bimbingan guru dan penyuluh pendidikan melaporkan, berkonsultasi dan menerima nasehat dari kepala sekolah tentang berbagai kasus dan usaha menanggulanginya. Berkenan dengan murid-murid yang bermasalah, guru atau penyuluh pendidikan hendaknya membicarakan dengan kepala sekolah tentang berbagai usaha yang perlu dilakukan untuk menghadapi tingkah laku yang bermasalah itu, usaha-usaha menghubungi orang tua murid dan instansi-instansi lain yang dianggap perlu, menguraikan pandangan guru terhadap persoalan murid.

b. Pengamatan yang lebih mendalam
Pengamatan yang lebih mendalam diharapkan dapat memperoleh daftar tentang murid-murid yang mengalami masalah mungkin disusun berdasarkan atas hasil-hasil pengamatan yang kurang lengkap ataupun pandangan yang baru selintas saja. Dengan usaha ini mska catatan, tanggapan dan bahan-bahan yang amat berguna sebagai dasar pertimbangan yntuk menghadapi masalah itu mungkin lengkap dan mantap.

c. Mempelajari “Cummulative Record”
Dari mempelajari Cummulative Record ini diharapkan terkumpul catatan yang biasaya dapat diperoleh dari berbagai keterangan pokok yang mungkin bersangkut paut erat atau bahkan melatar belakangi masalah yang dialami murid. Guru atau penyuluh pendidikan harus mampu menarik sangkut paut dari yang terdapat didalam kumpulan catatan dapat saling lengkap melengkapi dengan apa yang diperoleh dari pengamatan. Dari kenyataan ini akan dapat diterbitkan pandangan atau gagasan baru, dan bahkan rencana atau ide untuk usaha lebih lanjut mengatasi masalah yang dihadapi murid.

d. Berbicara dengan guru-guru lain
Kegiatan bimbingan dan penyuluhan adalah kegiatan yang bersifat interdisipliner dan dilakukan secara bersama. Guru atau penyuluh pendidikan seorang diri (tanpa ikut sertanya staf yang lain) kemungkinan besar akan gagal membantu anak-anak yang bermasalah. Dalam hal ini tidak ada jalan lain kecuali setiap orang yang bertanggung jawab dalam membimbing anak harus mengambil manfaat dari bekerjasama dengan petugas yang lain. isi kerja sama ini selain dari segi pengumpulan informasi selengkap mungkin, juga dalam penyajian materi pemecahan masalah itu sendiri yang tidak kurang pentingnya dalam rangka kerja sama ini adalah penciptaan “Suasana Bimbingan” oleh seluruh petugas sekolah semua pihak hendaklah menyadari apa sebenarnya bimbingan dan penyuluhan itu sehingga masing-masing pihak dapat menjalankan peranannya dengan baik dalam rangka keseluruhan “Suasana Bimbingan” itu.

e. Berkonsultasi dengan juru rawat
Tujuan kegiatan ini terutama sekali adalah kesehatan murid. Guru atau penyuluh pendidikan dapat berwawancara dengan murid yang bersangkutan yang mengungkapkan sakit atau kecelakaan apa saja yang pernah dideritanya, kapan hal itu terjadi, bagaimana tingkat keparahannya, bagaimana usaha pengobatannya, tingkat kesembuhannya, keadaan kesehatan sekarang dan sebagainya. Hanya untuk kondisi kesehatan yang kelihatannya amat serius saja guru atau penyuluh pendidikan harus berusaha sekuat tenaga berkonsultasi dengan juru rawat atau dokter.

f. Memberi penyuluhan
Penyuluhan adalah suatu kegiatan yang khas dalam usaha bimbingan seorang anak yang mengalami masalah dihadapi langsung dengan tatap muka oleh penyuluh dalam rangka usaha pemecahan masalah yang sedang dihadapi anak itu. Suasana hubungan tatap muka inipun sifat khas pula yaitu suatu hubungan yang tidak terasa sedikitpun untuk unsur-unsur kekerasan atau paksaan, bebas dari rasa takut dan hawatir, saling mempercayai, terbuka dan terus terang, suka rela, saling memberi dan menerima. Suasana hubungan seperti itu disebut “Raport”. Sebelum usaha penyuluhan dilanjutkan hendaknya terlebih dahulu dibina “Raport” ini. Apabila Rapport telah tercipta maka hubungan berikutnya akan berjalan dengan lancar, mudah dan penuh arti. Satu suasana lain dari penyuluhan ini adalah bawa hubungan ini dilakukan tidak dimuka umum atau ditempat ramai. Melainkan ditempat yang terpisah sehingga baik anak maupun penyuluh dapat berbicara bebas. Sikap bijaksana yang diteliti dan berpandangan jauh akan mampu mendudukan persoalan sesuai dengan bobot dan arahnya penyuluhan seringkali merupakan kunci untuk menimbulkan kesadaran dan sikap terhadap diri sendiri, sekolah taman dan sebagainya.

g. Prosedur Referal
Di sekolah, pada taraf yang paling awal masalah yang dihadapi oleh murid-murid hendaknya diungkapkan oleh guru lain atau wali kelas, misalnya dengan jelas mengisi formulir/daftar, selanjutnya pada taraf pertama masih menjadi tugas guru atau wali kelas untuk sejauh mungkin menanggulangi masalah yang dihadapi oleh murid tersebut. Jika berbagai usaha yang dilakukan oleh guru/wali kelas yang kewalahan atau diperkirakan murid tersebut memerlukan bantuan khusus dari penyuluhan pendidikan yang ahli, maka guru atau wali kelas yang bersangkutan perlu “Mereferal” atau mengirim atau “Mengambil Alihkan” masalah yang dihadapi oleh murid itu kepada penyuluh pendidikan. Ini tidak berarti guru yang bersangkutan sekarang menjadi lepas tangan terhadap masalah itu. Melainkan sebaliknya guru dalam rangka kerja sama dengan penyuluh pendidikan tidak mungkin bekerja sendiri. Kesulitan belajar yang menyangkut bidang tertentu jelas harus ditanggulangi bertsama dengan guru bidang studi yang bersangkutan.

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

Belajar menurut Qomar Hamalik adalah : “sesuatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru, berkat pengalaman dan pelatihan” (Hamalik, 1990:2).

Pemecahan kesulitan belajar menurut H. Koestoer Partowisastro dalam bukunya “Diagnosa dan pemecahan kesulitan belajar siswa” ada beberapa tahapan dalam melakukannya, yaitu : menelaah status siswa,memperhatikan sebab-sebab kesulitan belajar dan proses pemecahan kesulitan belajar. (Partowisastro, 1984:72).
a. Menelaah status siswa
Menelaah status siswa adalah usaha meneliti hasil belajar siswa atau murid untuk mengetahui sampai sejauh mana pelajaran yang mereka serap dan kesulitan-kesulitan apa yang mereka hadapi dalam proses belajar.

b. Mengidentifikasi dan klasifikasi sebab-sebab kesulitan belajar siswa
Mengidentifikasi kasus merupakan langkah yang pertama dilakukan oleh Counselor atau guru dalam rangka mencetak atau mengecek eksistensi status siswa. Mengidentifikasi dimaksudkan untuk mengetahui hakekat dan luasnya kesulitan belajar yang dialami oleh siswa atau yang dihadapi oleh siswa.
Menurut I. Djumhur dan Moh. Surya mengatakan bahwa :
Langkah identifikasi dimaksudkan untuk mengetahui hal-hal khusus beserta gejala-gejala yang nampak. Dalam langkah ini pembimbing mencatat kasus-kasus yang perlu mendapat dan memilih kasus yang mana yang akan mendapatkan bantuan lebih dahulu. (Ahmadi, 1978:104).

Langkah identifikasi adalah langkah pemula dalam pemecahan problematika yang ada. Oleh karena itu perlu adanya penetapan yang jitu dan follow upnya adalah mengklasifikasikan kasus yang ada sehingga memudahkan untuk menentukan kasus mana yang didahulukan penyelesaiannya dan bentuk apa terapinya. Sebagaimana telah diterangkan di atas. Bahwa identifikasi perlu diluruskan pada pengklasifikasian gejala-gejala kesulitan yang dihadapi oleh siswa. Klasifikasi dimaksudkan untuk terpilihnya permasalahan yang ada sehingga memberikan kemudahan langkah-langkah berikutnya.

Sebab-sebab kesulitan belajar menurut Koestoer Parto Wisastro dan A. Hadi Saputra, yaitu :
a). Disebabkan oleh gangguan alat tubuh
b). Disebabkan oleh kecerdasan yang kurang
c). Disebabkan oleh gangguan alat penerimaan
d). Disebabkan oleh gangguan perasaan
e). Disebabkan oleh kesalahan tingkah laku (Partowisastro, 1984:26).

Sedangkan menurut Qomar Hamalik faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesulitan belajar siswa, yaitu :
a) Faktor-faktor yang bersumber dari diri sendiri
b) Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah
c) Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga
d) Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan masyarakat (Hamalik, 1990:117)
Dari dua pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penyebab dari kesulitan belajar siswa yang satu dengan yang lain adalah berbeda, ini berarti upaya mengetahui sebab kesulitan belajar siswa yang penting dalam rangka usaha memberikan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh siswa.

Luas dan kompleknya kesulitan belajar yang dialami oleh siswa memerlukan kontiunitas proses bimbingan dan penyuluhan secara berkala sehingga tidak terjadi ketimpang tindihan problem itu. Melihat macam-macam sebab kesulitan belajar diatas, pembimbing perlu mengadakan klasifikasi sebab-sebab kesulitan belajar.

Dari berbagai sebab kesulitan belajar tersebut, maka timbullah kesulitan belajar yang ditandai dengan sikap dan tingkah laku sebagai berikut :
a) Hasil belajar rendah, dibawa rata-rata kelas
b) Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan
c) Menunjukkan sikap yang kurang wajar, suka menentang, dusta dan sebagainya.
d) Menunjukkan tingkah laku yang berlainan (suka mengganggu, mengisolir diri, tak mau mencatat dan sebagainya).
e) Menunjukkan gejala emosional diri yang tidak wajar (mudah tersinggung, melamun, pemarah dan sebagainya) (Ahmadi, 1978:161)
Hal ini berarti perlu ada bantuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

c. Memberikan Diagnosa terhadap kesulitan belajar siswa dan pemecahannya
I. Djumhur dan Moh. Surya dalam pendapatnya mengatakan bahwa “Diagnosa adalah langkah untuk menelaah masalah kasus dan latar belakangnya” (Ahmadi, 1978:161)
Pada langkah diagnosa mempergunakan cara atau tehnik pengumpulan data. Setelah terkumpul data dan jelas latar belakang yang terjadi pada permasalahan itu, Counselor menetapkan masalah yang dihadapi oleh Counselo dan menemukan jalan keluar untuk pemecahan dari problem tersebut.

Diagnosa sebagai langkah dalam bimbingan ini, mempunyai langkah-langkah atau tahapan diagnosa, seperti yang dilontarkan oleh Koestoer P. dan A. Hadi Saputra sebagai berikut :
1) Tahap pertama, menelaah status siswa
2) Tahap kedua perkiraan sebab
3) Pemecahan kesulitan (Partowisastro, 1984:10)
(a) Menelaah status siswa
Tahapan ini merupakan tahap identifikasi hakikat dan luas kesulitan siwa, sesuai dengan pengertian bahwa fungsi diagnosa itu adalah menetapkan masalah yang dihadapi atau mempertegas dan menetapkan latar belakang masalah yang dihadapi.
(b) Perkiraan Sebab
Langkah perkiraan sebab merupakan perkiraan atau prediksi semacam ramalan, sebab apakah yang mendasari pola belajar anak sehingga anak memperlihatkan atau melakukan belajar yang hasilnya seperti itu atau dengan bahasa yang lebih gampang kenapa anak punya kelebihan dan kekurangan.

Koestoer Partowisastro mengatakan bahwa :
Pada tahap ini teori psikologi menjadi penting, artinya yang dimaksud teori dalam hal ini adalah pernyataan mengenai hubungan diantara faktor-faktor pribadi manakah yang telah menyebabkan kesulitan tersebut. (Partowisastro, 1984:36)

Dengan pernyatan di atas dapat dipahami bahwa setiap hasil kegiatan atau setiap hasil belajar yang ditampilkan oleh siswa baik hasil itu positif atau negatif, mempunyai penyebab dari pola belajar yang dimiliki oleh siswa. Dengan realitas ini penting sekali bagi pembimbing untuk mendeteksi sebab-sebab tersebut sehingga bisa mediagnosanya.
(c) Pemecahan Kesulitan
Pada tahap ini seorang pembimbing diharapkan membantu siswa yang menghadapi permasalahan bisa menghilangkan atau menyingkirkan kesulitan yang dihadapinya. Bantuan yang diberikan kepada siswa berupa cara untuk menghilangkan kesulitan sesuai dengan sebab-sebab yang melatar belakangi kenapa siswa itu menampilkan tingkah laku atau hasil yang seperti yang pembimbing ketahui.

Seperti yang diungkapkan didepan, ada langkah diagnosa untuk menetapkan masalah yang dihadapi beserta latar belakangnya. Untuk memecahkanmasalah atau langkah selanjutnya adalah langkah untuk menentukan jenis bimbingan yang sesuai dengan sebab-sebab kesulitan tersebut yang dikenal dengan langkah diagnosa.

Menurut I. Djumhur dan M. surya dalam lontaran pemikirannya mengatakan bahwa “Diagnosa adalah langkah untuk menentukan atau menetapkan jenis bantuan atau jenis terapi yang dilaksanakan untuk membimbing kasus”. (Ahmadi, 1990:105).

Pada penentuan jenis bimbingan, seorang pembimbing harus punya data yang sudah matang dari hasil diagnosa yang dilakukan sebelumnya agar tidak salah dalam menentukan jenis bantuan kepada siswa yang bersangkutan, maksudnya adalah pembimbing paham betul tersebut siswa yang akan diberi bantuan mengenai sebab-sebab dan latar belakang kesulitan belajar. Kemidian pada tahap selanjutnya adalah melakukan pemecahan atau pelaksanaan bimbingan.

I. Djumhur P. dan M. Surya mengatakan bahwa terapi adalah “Langkah pelaksanaan bantuan atau bimbingan” (Ahmadi, 1990:103).

Langkah di atas adalah pelaksanaan dari pemecahan kesulitan belajar siswa yaitu kegiatan bimbingan secara kesinambungan atau kontinue dan sistimatis serta membutuhkan adanya pengamatan yang cermat, sehingga pembimbing bisa mendeteksi apakah ada kemajuan kearah positif atau masih tetap seperti semual. Metode terapi ini pembimbing bisa memilih sesuai dengan situasi dan kondisi serta eksistensi dari konselee.

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

Menurut Hanafi Anshari bantuan atau bimbingan yang diberikan kepada siswa ada dua macam yaitu : “bimbingan yang bersifat prefentif (pencegahan) dan bimbingan yang bersifat kuratif (penyembuhan)”. (Anshari, 1991:67)
a. Bimbingan yang bersifat preventif
Bimbingan yang bersifat prefentif (pencegahan) adalah pemberian bantuan kepada siswa sebelum menghadapi kesulitan atau persoalan yang serius. Cara yang ditempuh bermacam-macam, antara lain : memelihara situasi yang baik dan menjaga situasi itu agar tetap baik. Dalam hal ini hubungan siswa dengan guru dan staf yang lain harus dijaga sebaik mungkin. Saling mengerti kedudukannya sehingga satu dengan yang lainnya tidak saling membenci. Demikian juga guru dalam menyampaikan materi harus disesuaikan dengan keadaan anak. Minat anak dan guru berusaha semaksimal mungkin menimbulkan semangat anak agar tidak merasa bosan terhadap guru dan materi yang diberikan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Dewa Ketut Sukardi menjelaskan :
Bimbingan berfungsi prefentif, pencegahan terjadinya atau timbulnya masalah dari anak didik dan berfungsi preservation. Memelihara situasi dan menjaga supaya situasi itu tetap baik. (Sukardi, 1983:8).

Selanjutnya bimbingan prefentif ini bisa dengan cara penggunaa waktu senggang. Jenis bimbingan ini untuk membantu siswa dalam menggunakan waktu senggang dengan cara mengisi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain atau lingkungan.

Dengan bimbingan jenis ini diharapkan siswa mampu memanfaatkan waktu senggang dengan mengisi kegiatan-kegiatan belajar, bekerja atau rekreasi yang membawa manfaat.
Sebagaimana dikemukakan oleh I. Djumhur dan Moh. Surya sebagai berikut :
Kegiatan bimbingan menggunakan waktu senggang antara lain membantu siswa dalam hal :
1. Menggunakan waktu-waktu senggang untuk kegiatan produktif.
2. Menyusun dan membagi waktu belajar dengan sebaik-baiknya.
3. mengisi dan menggunakan waktu pada jam-jam bebas, hari libur dan sebagainya.
4. Merencanakan suatu kegiatan. (Ahmadi, 1978:38)
Menggunakan waktu senggang untuk kegiatan produktif, seperti ; kegiatan OSIS, kepramukaan, organisasi keagamaan, olah raga dan kesenian yang dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki peserta didik sehingga selalu merasa diliputi dalam kesibukan. Hal ini sedikit sekali bagi mereka memikirkan dan mengatur waktunya pada hal-hal yang tidak baik dan menjurus pada kegiatan amoral.
Megenai penggunaan waktu yang sebaik-baiknya telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Ashr ayat 1-3 yaitu :

Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kesabaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran. (QS. Al Ashr ayat 1-3) (Depag RI. 1991:1009)

Dari nash tersebut di atas dapat dipahami bahwa Islam sangat menghargai akan perlunya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya yaitu mengisi waktu engan perbuatan yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi diri lingkungan.

Adapun bimbingan yang bersifat pencegahan adalah tata tertib, menanamkan kedisiplinan, memberikan motivasi, dan memberikan nasehat. (Anshari, 1991:67)
a) Tata Tertib
Tata tertib adalah beberapa peraturan yang harus ditaati dalam situasi atau dalam suatu tata kehidupan tertentu. Peraturan tersebut dalam hal ini dapat berbentuk tulisan atau tidak tertulis. Yang tertulis misalnya tata tertib antara guru dengan murid, tata tertib pergaulan dan sebagainya.

b) Menanamkan kedisiplinan
Disiplin adalah merupakan suatu sikap mental yang dengan kesadaran dan keinsafannya mematuhi terhadap perintah-perintah atau larangan yang ada terhadap suatu hal. Karena mengerti betul-betul tentang pentingnya dan larangan tersebut. Karena itu disiplin harus ditanamkan dalam sanubari anak. Menurut Hafi Anshari untuk menanamkan kedisiplinan pada anak dapat diusahakan dengan jalan : pembiasaan, dengan contoh dan teladan, dengan penyadaran dan dengan pengawasan atau kontrol. (Anshari, 1991:68)
(1) Dengan Pembiasaan
Anak dibiasakan untuk melakukan sesuatu dengan baik, tata tertib dan teratur, misalnya berpakaian yang rapi, masuk dan keluar kelas harus dengan ijin guru, harus memberi salam dan sebagainya.
(2) Dengan contoh dan teladan
Suri tauladan yang baik perlu mendapatkan perhatian yang sesungguhnya dari guru. Untuk itulah guru harus lebih dahulu memberikan contoh dengan perbuata yang baik, sebab kalau tidak maka dikalagan murid akan timbul semacam protes tentang keadaan tersebut sehingga akan menimbulkan rasa tidak senang, iri hati dan tidak ikhlas. Perbuatan baik itu dikerjakan oleh murid hanya karena keterpaksaan.
(3) Dengan penyadaran
Disamping adanya pembiasaan, contoh dan teladan, maka anak semakin kritis ingin mengerti tentang arti peraturan atau larangan tang ada. Maka kewajiban para guru untuk memberikan penjelasan, alasan yang dapat diterima dengan baik oleh pikiran anak. Sehingga dengan demikian timbul kesadaran anak tentang adanya perintah yang harus dikerjakan dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan.
(4) Dengan pengawasan atau kontrol
Bahwa kepatuhan anak terhadap peraturan atau tata tertib mengenal juga adanya situasi tertentu yang mempengaruhi terhadap anak. Adanya kemungkinan anak nyeleweng atau tidak mematuhi tata tertib maka perlu diadakan pengawasan yang intensif terhadap situasi yang tidak diinginkan yang akibatnya akan merugikan keseluruhan.

b) Memberi motivasi
Memberikan motivasi disini lebih ditekankan pada pembetukan akhlaq yang baik, yang mana akhlaq merupakan keseluruhan dari gerak hidup manusia.
Dalam hal ini Sardiman AM mengemukakan pendapatnya :
Istilah motivasi banyak digunakan diberbagai bidang dan situasi dalam hal ini tidak akan dikemukakan motivasi dalam bidang dan motivasi dalam pembentukan akhlaq siswa. (Sardiman, 1987:93)

c) Memberikan Nasehat
Dalam Bahasa Indonesia kata nasehat diartikan sebagai ajaran atau pelajaran yang baik. Namun suatu nasehat sudah barang tentu mesti timbul dari hati nurani yang bersih dan murni. Dengan tulus hati dengan kepentingan dan kebaikan yang dinasehati.
Pemberian nasehat dapat dilakukan dengan memberikan jalan untuk kebahagiaan hidup didunia dn kebahagiaan akherat. Mengingat mereka dengan yang halus dan yang lembut serta memberikan peringatan mengenai kelalaian mereka terhadap kewajiban sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.

b. Bimbingan yang bersifat kuratif (Penyembuhan)
Bimbingan yang bersifat kuratif yaitu uasaha bantuan yang diberikan pada murid selama atau setelah murid mengalami persoalaan serius. Dengan maksud utama agar murid yang bersangkutan terbebaskan dari kesulitan.
Dalam rangka pemberian bantuan yang diberikan secara sistimatis kepada klien digunakan berbagai langkah dan tehnik agar orang yang bersangkutan mampu untuk memecahkan segala problem yang dihadapi, apakah itu yang bersifat pribadi yang mengganggu perasaan, frustasi dan menghadapi untuk menentukan pilihan yang tepat sesuai dengan kemampuannya.
Bimbingan yang bersifat kuratif berupa pemberitahuan, peringatan, hukuman dan ganjaran. (Anshari, 1991:67)
a) Pemberitahuan
Pemberitahuan yaitu memberikan informasi kepada anak terhadap sesuatu hal yang kurang baik karena hal itu mengganggu jalannya proses pendidikan. Pemberitahuan ini diberikan kepada anak yang belum tahu misalnya seorang anak yang memberikan sesuatu kepada gurunya dengan tangan kirinya. Hal tersebut kemungkinan dilingkungan sekitarnya dan tidak ada yang memberitahukan bahwa hal itu, bukanlah anak yang bersagkutan langsung dimarahi.

b) Peringatan
Peringatan diberikan terhadap anak yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran dimana sebelumnya sudah diberi teguran dan biasanya peringatan itu disertai dengan ancaman apabila hal tersebut terulang kembali. Misalnya ada seorang anak yang berbuat nakal pada temannya beberapa kali, setelah ditegur juga dia masih melakukan, maka diberi peringatan dengan satu ancaman umpamanya kalau sampai melakukan lagi akan dikeluarkan dari sekolah.

c) Hukuman
Hukuman adalah tindakan yang paling akhir terhadap pelanggaran yang sudah berkali-kali dilakukan setelah diberitahukan, dan diperingati. Hukuman mempunyai arti dan nilai sebagai berikut:
(1) Hukuman sebagai akibat suatu pelanggaran
(2) Hukuman sebagai titik tolak agar tidak terjadi pelanggaran

d) Ganjaran
Ganjaran adalah alat pendidikan reppresif yang bersifat menyenangkan. Ganjaran diberikan pada anak didik yang mempunyai prestasi terentu dalam pendidikan, memiliki kerajinan dan tingkah laku yang baik. Sehingga dapat dijadikan contoh teladan bagi teman-temannya. Ganjaran itu dapat berupa pujian, penghormatan, hadiah dan tanda penghargaan.

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

a. Penyelenggaraan kartu pribadi
Bimo Walgito mengemukakan tentang kartu pribadi yaitu :
Kartu pribadi atau disebut juga daftar pribadi merupakan suatu daftar yang memuat semua aspek diri anak. Daftar pribadi ini memuat perseorangan sehingga masing-masing anak mempunyai daftar sendiri-sendiri. (Walgito, 1989:79)

Kartu pribadi ini berfungsi sebagai langkah awal bila suatu saat akan membimbing, karena sesudah diketahui sebelumnya pangkal tolaknya.

b. Penyelenggaraan papan bimbingan
Penyelenggaraan papan bimbingan adalah merupakan suatu aspek untuk merealisasikan bimbingan penyuluhan di sekolah. Karena pada papan bimbingan anak-anak akan dapat melihat yang perlu diketahui oleh dirinya.
Pada papan bimbingan ini bisa ditulis peraturan sekolah dan cara belajar yang baik.

c. Penyelenggaraan kotak masalah
Mengenai kotak masalah ini Bimo Walgito mengemukakan sebagai berikut :
Kotak masalah sering pula disebut kotak tanya. Dasar pemikiran penyelenggaraan kotak masalah ini adalah untuk menampung masalah atau pertanyaan yang dihadapi oleh anak-anak yang lain dalam sekolah. (Walgito, 1989:79)

Penyelenggaraan kotak masalah ini disamping bersifat kuratif juga bersifat prefentif serta bersifat korektif. Sehingga permasalahan yang timbul segera akan dapat dicarikan penyelesaiannya.

d. Penyelenggaraan Kelompok Belajar
Kelompok belajar adalah bahwa kegiatan-kegiatan digolongkan kedalam tiga golongan utama secara hakiki. Ialah kegiatan-kegiatan yang bersifat individual. Kegiatan yang bersifat sosial dan kegiatan yang bersifat Ketuhanan. (Walgito, 1989:143)

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa seseorang harus memiliki sosial yang baik, bekerja sama dengan lingkungannya serta mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau golongan.

Secara spiikis dapat dikemukakan bahwa peranan dari bimbingan dan penyuluhan dalam lembaga pendidikan disekolah adalah memberika bantuan kepada siswa yang mempunyai permasalahan untuk dibimbing agar siswa yang bersangkutan mampu menyelesaikan kesulitan yang dihadapi baik pada saat sekarang maupun pada masa yang akan datang. Tugas tersebut tidaklah ringan dan segampang yang dibayangkan, apalagi jika dikaitkan dengan adanya gejala menurunnya aktivitas belajar siswa.

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

Sifat bimbingan dan penyuluhan
Masalah bimbingan dan penyuluhan mengacu pada situasi masa pemberian bantuan yang dilihat dari segi proses penampakan hal atau kesulitan yang dihadapi murid. Dengan kata lain pemberian bantuan dapat dilakukan sebelum ada kesulitan, selama ada kesulitan, dan setelah ada kesulitan yang dihadapi murid.
Sifat bimbingan menurut Andi Mapiere dibagi menjadi empat yaitu :
1. Sifat pencegahan (prefentif) yaitu pemberian bantuan (terutama) kepada murid, sebelum murid menghadapi kesulitan atau persoalan yang serius.
2. Sifat pengembangan (development) yaitu usaha bantuan yang diberikan pada murid dengan mengiringi ‘perkembangan mentalnya ; yang dimaksudkan terutama untuk menetapkan jalan berfikir dan bertindaknya murid sehingga dapat berkembang secara optimal.
3. Sifat penyembuhan (curatif) yaitu usaha bantuan yang diberikan pada murid selama atau setelah murid mengalami persoalan serius, dengan maksud agar murid agar terbebas dari kesulitan.
4. Sifat pemeliharaan (Treatment) yaitu usaha bantuan yang dimaksudka terutama unuk memupuk dan mempertahankan kesehatan mental murid yang bersangkutan bertahan dalam kesembuhan, setelah menjalani proses penyembuhan.
Dari keempat sifat bimbingan tersebut di atas, satu dengan yang lainnya sangat berbeda, dalam penggunaannya yang luas. Hafi Anshari membagi bimbingan menjadi dua bentuk bimbingan yaitu :
a. Bimbingan yang bersifat prefentif
1. Tata Tetib
2. Menanamkan kedisiplinan
3. Memberikan motivasi
4. Memberikan nasehat
b. Bimbingan yang bersifat kuratif
1. Pemberitahuan
2. Peringatan
3. Hukuman
4. Ganjaran (Mapiere, 1989:211)

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

Pelaksanaan Bimbingan di sekolah terwujud dalam program bimbingan, yang mencakup keseluruhan pelayanan bimbingan. Para petugas bimbingan selain harus sehat fisik maupun psikisnya juga mendapatkan pendidikan khusus dan bimbingan dan konseling;secara ideal berijasah sarjana FIP IKIP, jurusan BK, atau program yang sederajat. Di samping itu seorang pembimbing harus mempunyai pengalaman maupun pengetahuan yang cukup, baik yang bersifat praktis maupun teoritis, sesuai dengan pendapat Bimo Walgito :
Agar supaya seorang pembimbing dapat menjalankan fungsi atau pekerjaannya dengan sebaik-baiknya, seorang pembimbing harus mempunyai pengetahuan yang cukup luas baik segi yang bersifat teoritis maupun yang bersifat praktis. (Walgito, 1989:17)

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwasanya pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan merupakan syarat yang paling penting bagi seorang pembimbing, baik dari segi teoritis maupun praktisnya.
Dasar dari pada pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah tidak lepas dari dasar pendidikan pada umumnya, dan pendidikan pada khususnya. (Walgito, 1989:17)
Dalam melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan perlu diperhatikan batas-batas sampai dimana kemungkinan kegiatan bimbingan dan penyuluhan itu boleh dilaksanakan. Bimbingan dan penyuluhan disekolah dilakukakan untuk siswa-siswi, untuk membantu siswa-siswi dalam membuat rencana belajar dan mengambil keputusan sendiri. Bimbingan dilakukan dengan melibatkan personal lain dalam memberikan bantuan pada siswa. Bimbingan dilakukakn dala batas-batas kemampuan yang dimiliki oleh staf pembimbing (tenaga ahli bimbingan, guru konselor atau guru pembimbing dan guru biasa guru vak) dan program bimbingan sekolah berpusat pada pencegahan kesulitan belajar dikelas yang dilakukan atas dasar kesepakatan bersama anatara penyuluhan dan siswa.
Menurut Totok Santoso dalam bukunya “Layanan dalam Memberikan Bimbingan Belajar, yaitu :
a. Bimbingan secara kelompok
Pelaksanaan bimbingan kelompok merupakan cara-cara tertentu untuk mengelompokkan murid. Sedangkan aktivitas-aktivitas bimbingan kelompok merupakan jenis kegiatan yang dilakukakan, karena pembimbing mrangkap sebagai pengajar, makabimbingan kelompok yang paling dominan. Sebab disamping memberikan pelajaran juga diiringi memberikan bimbingan secara pencegahan (preventif). Adapun bentuk bimbingan kelompok adalah pelajaran bimbingan (group guindance class), sekelompok diskusi, kelompok kerja dan home room.
1) Pelajara Bimbingan
Pelajaran bimbingan ini yang diutamakan adalah kebutuhan-kebutuhan murid yang berkenan dengan perkembangan pribadinya dan pergaulan sosialnya : dengan kata lain ahli bimbingan lebih berfungsi sebagai pendidik dari pada sebagai pengajar. Pada pelajaran bimbingan yang biasanya berupa pembahasan tentang suatu masalah yang tidak termasuk materi pelajaran yang lain. misalnya cara-cara belajar yang baik. Cara memilih jurusan / fakultas. Cara-cara bergaul, pendewasaan diri, hubungan dengan orang tua.
2) Diskusi Kelompok
Diskusi kelompok ini dibentuk kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam murid yang mana murid-murid itu mendiskusikan sesuatu bersama, misalnya kesukaran dalam belajar, pergaulan dengan orang tua atau pergaulan dengan lain jenis.

b. Bimbingan secara individu
Bimbingan secara individu ini dilaksanakan ada permasalahan dari siswa yang bersangkutan langsung dipanggil ke ruang bimbingan.
Adapun bentuk dari bimbingan individu dapat berupa : pemberian informasi, pemberian nasehat, dan konsentrasi.

c. Konseling individual
Konseling individual paling tidak ada empat segi yang perlu diperhatikan dalam konseling, yaitu saat diam, kebingungan, mndengarkan dan melarikan diri dari kenyataan.

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

Pelayanan bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan disekolah mempunyai dua tujuan yaitu :
Tujuan bimbingan dapat dibedakan atas tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah supaya orang bersikap dan bertindak seperti dalam situasi hidupnya sekarang ini. Sedangkan tujuan akhir adalah supaya orang mampu mengatur kehidupannya sendiri, menagambil sikapnya sendiri dan menangung sendiri resiko dari tindakan-tindakannya (Winkel, 1991:17).

Dari pendapat di atas dapat diapahami bahwa tujuan dari bimbingan dapat dibedakan atas tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah supaya orang bersikap dan bertindak sendiri dalam situasi hidupnya sekarang ini, misalnya melanjutkan sekolah, mengambil sikap dan pergaulan, mendaftarkan diri pada fakultas Perguruan Tinggi tertentu. Tujuan akhir adalah supaya orang mampu mengatur kehidupannya sendiri, mempunyai pandangan sendiri dan menanggung sendiri konsekwensi atau resiko dari tindakannya sendiri.

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

Istilah bimbingan dan penyuluhan dipandang dari segi terminologi berasal dari bahasa asing yaitu bimbingan dari Guidance dan penyuluhan dari Counseling.
a. Bimbingan
Mengenai pengertian bimbingan ini Bimo walgito mengemukakan sebagai berikut :
Bimbingan adalah merupakan bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan dalam hidupnya mencapai kesejahteraan. (Walgito, 1989:4)

Sejalan dengan pengertian di atas H. Koestuer Partowisastro mengemukakan pendapat :
Bimbingan adalah bantuan yang diberikkan kepada seseorang agar memperkembangkan potensi-potensi yang dimiliki, mengenal dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalannya sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab tanpa tergantung orang lain. (Partowisastro, 1984:12)

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan bimbingan adalah suatu usaha bantuan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dan pengalaman dalam memberikan bantuan atau pertolongan kepada individu tersebut dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, mengenal dirinya dan dapat bertanggung jawab.

b. Penyuluhan
Penyuluhan menurut Bimo Walgito adalah :
Penyuluhan adalah bantuan yang diberikan individu dalam memecahkan masalah kehidupannya dengan langsung berhadapan muka, dengan cara-cara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. (Walgito, 1989:5)

Dari pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwasanya bimbingan dan penyuluhan, ada persamaannya dan ada perbedaannya. Persamaan adalah keduanya merupakan suatu bantua bagi individu-individu dalam menghadapi problem kedupannnya. Sedangkan perbedaan, bimbingan lebih luas dari pada penyuluhan, bimbingan lebih menitik beratkan pada segi-segi preventif, sedangkan penyuluhan lebih menitik beratkan pada segi kuratif, tetapi walaupun demikian pengguanan bimbingan selalu diikuti dengan kata penyuluhan.

Keberadaan bimbingan dan penyuluhan di sekolah harus mendapatkan perhatian istimewa terhadap generasi muda. Karena manfaatnya adalah sangat besar bagi pemantapan hidup bagi generasi muda kita dalam berbagai bidang yang menyangkut ilmu pengetahuan. Ketrampilan dan sikap mental generasi muda. Apalagi mengingat bahwa generasi mda perlu dibina secara intensif sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa generasi muda harus dibina agar menjadi generasi pengganti dimasa mendatang yang harus lebih baik, lebih bertanggung jawab dan lebih mampu mengisi serta membina kemerdekaan Bangsa.
Dengan adanya bimbingan dan penyuluhan di sekolah diharapkan generasi muda menjadi generasi yang mampu bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat serta bagi bangsa dan negara. Manusia diciptaka oleh Allah SWT untuk menjadi manusia yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun umatnya. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 yaitu:

Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah … (QS. Ali Imron, 110) (Depag RI., 1989:94)

Untuk menjadi generasi yang mampu bermanfaat baik dirinya sendiri maupun bagi masyarakat serta bagi bangsa dan negara, maka perlu kiranya diperkenalkan kepada anak didik seperangkat ajaran yang mewajibkan kita untuk senatiasa belajar, khususnya dalam bidang agama, sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 102 :
Artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri. (QS. At-Taubah, 122) (Depag. RI. 1989:302)

Ayat tersebut memberikan gambaran tentang pentingnya pembahasan terhadap agama yang kita peroleh dalam prosesbelajar mengajar, baik lewat pendidikan luar sekolah (Sekolah dan Masyarakat).

Secara ekspisit ayat tersebut juga mengisyaratkan perintah langsung kepada petugas bimbingan dan penyuluhan untuk memberikan penyuluhan yang baik kepada para siswanya. Sebab seperti yang pernah kita jelaskan di atas, baik keberadaan bimbingan kepada para siswa untuk pemantapan hidup dalam berbagai bidang.

Petugas bimbingan dan penyuluhan yang keberadaannya disamping sebagai badan yang bertugas memberikan bimbingan kepada para siswa juga sebagai guru yang memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik kepada siswa. Sehingga tanggung jawab petugas bimbingan dan penyuluhan menjadi ganda dan variatif atau sebagai pengajar mata pelajaran dan sebagai pendidik agama dan akhlaq yang baik.

Untuk Daftar Rujukan Klik DI SINI

BERIKUT INI ADALAH CONTOH PENULISAN MAKALAH PENDIDIKAN YANG BAIK DAN BENAR

Makalah Pendidikan ini berjudul: “Konsep Link and Match: Fungsi Pendidikan Sebagai Pemasok Tenaga Kerja Siap Pakai” yang ditulis oleh Nunung Isa Anshori

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah         
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan.

Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.         
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
B. Rumusan Masalah
         
         Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa pertanyaan terkait konsep link and macth dalam pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana konsep dasar Link and Match dalam pendidikan?
2. Mengapa Link and Match itu diperlukan dalam pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan?
4. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penulisan
         
         Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui konsep dasar Link and Match dalam pendidikan
2. Mengetahui perlunya Link and Match dalam pendidikan
3. Mengetahui Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan
4. Mengetahi hubungan pendidikan dan ketenagakerjaan

II. Pembahasan
A. Konsep Link and Match
Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya sesalu bersifat linked and matched.
Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi d.
Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitasdiri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130).

B. Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match
1. Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannyaa sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963 dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”all young person qualified by ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education should have the opportunity to do so” (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan ini mengabaiakan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini meng`baiakn kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
3. Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).

2. Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam hal ini perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang telatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau ratio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam perencanaan ekonomi. Jadi, dal;am merencanakan keprluan tenaga kerja, perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan.
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001: 17).
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
3. Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006: 59).
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapanfan kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan pdndidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu dibelajarkan pada pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial juga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.

C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan medha yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebttuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178). Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidik`n pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rend`h. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa poin: Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu renrientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi. Perestroika shstem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.

III. Kesimpulan
1. Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja, atau dengan kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2. Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. dengan adanya Link and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinfgi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
3. Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
4. Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Cammings, Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K

Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara

Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas

Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya. Surabaya: Karya Aditama

Limongan, Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008

Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II

Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius

Sindhunata (ed), 2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius

Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico

Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya

Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV

Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

sumber: http://elelentary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html

Demikian contoh makalah pendidikan ini, semoga dapat menjadi pembanding bagi makalah pendidikan yang telah/akan dibuat oleh pembaca artikel contoh makalah pendidikan ini. Mohon kritik dan sarannya.

Dipublikasikan Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com
87N642HK6XQZ