Arsip

Organisasi

Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat penerima program pembangunan, menurut Cohen dalam Syamsi (1986:114) terdiri dari partisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), implementasi, pemanfaatan (benefit) dan evaluasi program pembangunan. Keempat macam partisipasi tersebut merupakan suatu siklus yang dimulai dari decision making, implementasi, benefit dan evaluasi, kemudian merupakan umpan-balik bagi decision making yang akan datang. Namun dapat pula dari decision making langsung ke benefits atau pada evaluasi, begitu pula mengenai umpan baliknya. Disamping keempat bentuk partisipasi tersebut dari Cohen tersebut, Conyers (1992:154) perlu menambahkan satu lagi, yaitu masyarakat sebagai penerima program perlu dilibatkan dalam identifikasi masalah pembangunan dan dalam proses perencanaan program pembangunan.
Sementara Ndraha (1990:103-104) membagi bentuk atau tahap partisipasi menjadi 6 bentuk/tahapan, yaitu:
a. partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial;
b. patisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiyakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya;
c. partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan;
d. partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan;
e. partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan; dan
f. partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Terjadinya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah menurut Cohen dalam Syamsi (1986:122-123) disebabkan karena empat hal. Pertama, dari segi basisnya, yaitu partisipasi karena desakan (impetus) dan partisipasi karena adanya insentif. Kedua, segi bentuk yaitu partisipasi terjadi secara terorganisasi, ada pengarahan dari pimpinan kelompok, dan partisipasi yang dilakukan secara langsung oleh individu itu sendiri. Ketiga, segi keluasannya, yaitu partisipasi terjadi dengan mengorbankan waktu dan dengan menambah kesibukan di luar untuk kepentingan pribadinya. Keempat, dari segi efektivitasnya, yaitu dengan menjadi partisipan berharap bisa memberikan masukan/saran atau kontribusi yang tentunya pada akhirnya akan memberi manfaat terhadap dirinya. Dilihat dari keempat segi partisipasi tersebut di atas bila dilihat dari prakarsa terjadinya partisipasi maka bisa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu partisipasi yang datang dari atas (with initiative coming from the top down), dan partisipasi yang datang dari bawah (with initiative coming from the bottom up).

Dipublikasikan Oleh:
Atik Norhayati
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya
http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program.
Demikian pula pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses tersebut. Di sini masyarakat perlu diberikan empowerment (kuasa dan wewenang) dan berpartisipasi dalam pengelolaan pembangunan.
Ada banyak ahli yang mendefinisikan tentang partisipasi. Menurut Almond dalam Syamsi (1986:112), partisipasi didefinisikan “sebagai orang-orang yang orientasinya justru pada penyusunan dan pemrosesan input serta melibatkan diri dalam artikulasi dari tuntutan-tuntutan kebutuhan dan dalam pembuatan keputusan”. Jnanabrota Bhattacharyya dalam Ndraha (1990:102) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Sedangkan Mubyarto dalam Ndraha (1990:102) mendefinisikannya sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Sementara Davis dalam Syamsi (1986:114) mendefinisikan partisipasi sebagai berikut “participation is defined as mental and emotional involvement of persons in group situations that encourage them to contribute to group goals and share responsibility for them”. Dari pengertian tersebut, partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa adalah keterlibatan individu-individu anggota masyarakat untuk bertanggung jawab baik mental maupun emosi terhadap tujuan pembangunan desa. Dalam keterlibatannya, masyarakat harus memberikan dukungan semangat berupa bentuk dan jenis partisipasi yang kesemuanya disesuaikan dengan kebutuhan dan fase pembangunan desa (perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan serta penilaian).
Partisipasi warga menurut Sj Sumarto (2004:17) adalah “proses ketika warga, sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka”.
Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat menurut Tjokroamidjojo (1983:207) dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Berdasarkan beberapa definisi menurut para ahli tersebut di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa partisipasi merupakan pengambilan bagian atau keterlibatan anggota masyarakat dengan cara memberikan dukungan (tenaga, pikiran maupun materi) dan tanggung jawabnya terhadap setiap keputusan yang telah diambil demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan bersama.

Dipublikasikan Oleh:
Atik Norhayati
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya
http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Dalam hidupnya, manusia dipengaruhi oleh budaya dimana ia berada seperti nilai-nilai keyakinan dan perilaku sosial/masyarakat yang kemudian menghasilkan budaya sosial atau budaya masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada anggota organisasi dengan segala nilai keyakinan dan perilakunya dalam organisasi yang kemudian menciptakan budaya organisasi (Nimran, 1997:121).
Minat terhadap budaya organisasi muncul pada saat timbul kesadaran bahwa kerangka kerja organisasi seperti teknologi, strategi, gaya kepemimpinan dan karyawan tidak dapat dipisajkan dari landasan nilai-nilai yang hidup dan dihayati artinya rasionalitas organisasi dalam mengatur tujuan bersama tidak lepas dari posisi sentral martabat manusia (Hardjana, 1998:8).
Robbins mengatakan bahwa budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi, suatu sistem dari makna bersama (Robbins, 1996:289). Sedangkan Schein (dalam Harjana, 1998:9) menulis budaya organisasi adalah pola asumsi-asumsi dasar, bentukan, atau temuan atau pengembangan oleh suatu kelompok yang telah bekerja dengan cukup baik untuk mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal maupun internal sehingga dianggap perlu untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, berfikir dan merasakan tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Definisi lain tentang budaya organisasi oleh Jaxques yang mengatakan bahwa budaya organisasi adalah cara berfikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi dan para anggota baru harus mempelajari atau paling sedikit menerimanya sebagain agar mereka diterima sebagai bagian organisasi/perusahaan (Dalam Nimran, 1997:121). Lebih lanjut Susanto menyatakan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pegangan sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan juga perilakunya di dalam organisasi. Sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. (Susanto, 1997:3).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli pada umumnya menggunakan istilah budaya organisasi (Organization Culture) untuk menggambarkan asumsi bersama tentang makna bersama, nilai, norma, sikap yang mengatur perilaku para anggota dalam suatu organisasi. Menurut Nurfarhati, beberapa penulis dan peneliti sebelumnya (Schein, 1991:Chatman & Jehn, 1994:Luthans, 1995) menggunakan budaya organisasi untuk menjelaskan budaya dalam organisasi publik maupun bisnis. Adizes (1989), Kotter at al (1991), Traampanaars (1995), menggunakan istilah budaya perusahaan. Sedangkan Denison (1990, 1996) menggunakan istilah tersebut secara silih berganti. (dalam Nurfarhati:14).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah budaya organisasi dengan pertimbangan yang dapat menggambarkan organisasi bergerak dibidang bisnis maupun public, yang meliputi antara lain: (a) Merupakan hasil belajar dalam pergaulan sosial dan tidak ada hubungannya dengan keturunan atau ciri-ciri biologis; (b) Merupakan sistem nilai yang dianut dan dihayati oleh segenap kelompok; (c) Hidup dari generasi ke generasi; (d) Mengandung sifat simbolik dan muncul atas dasar kemampuan orang-orang dalam menciptakan lambang yang mengandung nilai; (e) Mempunyai kemampuan adaptif alias dapat berubah karena merupakan manifestasi dari mekanisme adaptasi dengan lingkungan.
Robbins, (1996:289) mengemukakan tujuan karakteristik primer dari hakekat sebuah budaya organisasi yaitu: (a) Inovasi dan pengambilan resiko; (b) perhatian kerincian; (c) Orientasi orang; (d) Orientasi hasil; (e) Orientasi tim; (f)
Keagresifan; (g) Kemantapan.
Dengan menilai sebuah organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut di atas akan diperoleh gambaran majemuk dari sebuah budaya organisasi. Selanjutnya Koentjaraningrat (1994:5-7) mengemukakan bahwa paling sedikit ada tiga wujud kebudayaan antara lain: (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. (c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah ide dari kebudayaan, sifatnya abstrakm tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.
Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disket, tape, arsi[, koleksi, microfilm dan microfish, kartu komputer, silinder dan tape komputer. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut adat tata kelakuan, atau secara singkat ada dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya sebutan tata kelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberikan arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak yang luas sampai yang paling kongkrit dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah misalnya sistem nilai budaya. Lapisan kedua yaitu sistem norma-norma adalah lebih kongkrit lagi. Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia (seperti misalnya aturan sopan santun), merupakan lapisan adat istiadat yang paling kongkrit tetapi terbatas ruang lingkupnya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiir. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, yang dari detik ke detik, dari hari kehari dan dari tahun ketahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat kongkrit, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sidatnya paling kongrkit dan berupa benda-benda yan amat besar seperti: suatu pabrik baja, ada benda-benda yang amat kompleks dan sophisticated seperti komputer berkapasitas tinggi, atau benda-benda yang besar dan indah seperti suatu candi yang indah, atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi yaitu kancing baju.
Schein (dalam Ndraha, 1997:1997:44) mengemukakan tingkat budaya antara lain: 1) Artifacts, struktur dan proses organisasional purba yang dapat diamati tetapi sulit ditafsirkan, 2) Esponsed Values, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan, dan sebagainya yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Selanjutnya terdapat beberapa teori utama budaya organisasi yang telah terbatas dikalangan pemerhati budya organissi yaitu teiri yang dikemukakan oleh Kluckholhn & Strodtbeek (Robbins, 1996:50) yang mengemukakan enam dimensi budaya dasar. Masing-masing dimensi ini memiliki variasi yang membedakan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Dimensi pertama adalah hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi dominasi terhadap lingkungan, harmoni dengan lingkungan dan tunduk atau didominasi oleh lingkungan. Dimensi kedua adalah orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi pada masa lalu, masa kini dan masa depan.
Dimensi ketiga adalah kodrat atas sifat dasar manusia yang bervariasi tentang pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik atau buruk atau campuran antara baik dan buruk. Dimensi keempat adalah orientasi kegiatan yang memiliki variasi adalah penekanan untuk melakukan tindakan, penekanan untuk menjadi atau menglaami sesuatu dan penekanan pada upaya mengendalikan kegiatan. Dimensi kelima ialah fokus tanggungjawab yang mempunyai variasi individualsitik, kelompok atau hierarkhis. Dimensi terakhir yaitu konsep ruang yang tumpuan variasinya terletak pada kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum dan campuran antara keduanya.
Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (Robbins, 1996:55) setelah mempelajari budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya yaitu individualisme dan kolektivisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian dan tingkat maskulinitas.
Individualisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut longgar dlam masyarakat dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapt mengharapkan kerabat suku atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak.
Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari masayrakat menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan yang besar menerima catatan hierarkhis dimana setiap orang mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan jastifikasi. Orang-orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut jastifikasi atas perbedaan kekuasaan tersebut.
Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimana anggota masharakat merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk mempercayai yang melindungi penyesauian. Masyarakat yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang rendah menjaga suasana lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari prinsip dan penyimpangan bisa ditoleransi.
Maskulinitas berarti kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan dan keberhasilan material. Lawannya feminitas berarti kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah dan kualitas hidup.

Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Prestasi kerja menunjuk pada hasil kerja yang dicapai oleh seseorang. Tingkat prestasi kerja karyawan merupakan salah satu ukuran tercapainya tujuan organisasi. Berkaitan dengan budaya organisasi, nampaknya organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan mempunyai peluang yang tinggi atau memudahkan karyawannya untuk mempunyai prestasi kerja yang tinggi (Robbins, 1996:308).
Hasibuan (1991:105) menyatakan, prestasi k erja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman. Dan kesungguhan waktu.
Dharma (1996:55) menyatakan bahwa prestasi kerja merupakan perwujudan kerja yang dilakukan oleh karyawan atau organisasi yang biasanya dipakai sebagai dasar penilaian atas karyawan atau organisasi.prestasi kerja dimaksudkan adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk/jasa yang dihasilkan atau diberikan seseorang atau sekelompok orang.
Swasto (1996:30) mengemukakan bahwa prestasi kerja merupakan tindakan-tindakan atau pelaksanaan tugas yang telah diselesaikan oleh seseorang dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur. Hal ini dapat berkaitan dengan jumlah kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dpat diselesaikan oleh individu dalam kurun waktu tertentu. Ada beberapa cara untuk mengukur prestasi kerja, yang secara umum antara lain: (a) kuantitas kerja; (b) kualitas kerja; (c) pengetahuan tentang pekerjaan; (d) Pendapat atau pernyataan yang disampaikan; (e) keputusan yang diambil; (f) daerah organisasi kerja.
Dharma (1985:55) berpendapat bahwa banyak cara pengukuran yang dapat digunakan, seperti penghematan kesalahan dan sebagainya. Tetapi hampir seluruh cara pengukuran prestasi kerja memperhitungkan kuantitas, kualitas dan ketetapan waktu.
Lopez (1982:336-339) mengukur prestasi kerja karyawan secara umum yaitu: 1.Kuantitas kerja, 2. Kualitas kerja, 3.Pengetahuan tentang pekerjaan, 4. Pendapat atau pernyataan yang disampaikan, 5. Keputusan yang diambil, 6. Perencanaan kerja, 7. Daerah kerja.
Selanjutnya pengukuran prestasi kerja menurut Syarif (1987:74) adalah suatu mutu (kehalusan, kebersihan, ketelitian), jumlah waktu (kecepatan), jumlah macam kerja (banyaknya keahlian), jumlah jenis alat (ketrampilan dalam menggunakan bermacam-macam alat), pengetahuan dan tentang pekerjaan.
Mengadaptasi berbagai pendapat tersebut di atas, maka untuk mengetahui prestasi kerja guru dapat diketahui dari: (a) Kecakapan dalam bekerja; (b) Pengetahuan tentang pekerjaan; (c) Kuantitas pekerjaan; (d) Kualitas pekerjaan; (e) Ketepatan waktu

Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Litwin dan Stringer (dalam Radityo, 2003: 18–22) mengemukakan dimensi-dimensi iklim organisasi sebagai berikut :
1) Struktur (structure), yakni dimensi yang mencakup perihal:
a) Situasi pelaksanaan tugas, yaitu ketersediaan sejumlah informasi yang rinci mengenai definisi tugas, prosedur pelaksanaan dan hambatan-hambatan yang mungkin terjadi.
b) Langkah dan tindakan dari pimpinan atau manajemen sehubungan dengan kebijakan, peraturan, sistem hirarkhi dan birokrasi, penjelasan dan penjabaran tugas serta proses pengambilan keputusan dan juga sistem kontrol yang diberlakukan dalam organisasi.
2) Tanggungjawab (responsibility), yakni dimensi yang menggambarkan rasa tanggungjawab yang tumbuh dalam organisasi, sehingga anggota organisasi benar-benar memiliki tanggungjawab yang besar terhadap pelaksanaan tugas, hasil dari pekerjaan dan mutu output.
3) Resiko (risk), yakni dimensi yang menggambarkan kemampuan organisasi untuk mengelola resiko. Setiap anggota organisasi akan siap dan mantap dalam bekerja serta mau menghadapi resiko, jika sejak awal dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
4) Imbalan dan sangsi (reward and punishment), yakni dimensi yang menunjukkan sistem pemberian imbalan dan sangsi yang berlaku dalam organisasi. Sistem pemberian imbalan dan sangsi hendaknya berlaku adil dan proporsional. Adil dalam arti sistem pemberian imbalan dan sangsi ini berlaku mengikat setiap anggota organisasi. Proporsional dalam arti imbalan dan sangsi diberikan sesuai dengan tingkat prestasi dan kesalahan yang dilakukan oleh anggota organisasi.
5) Kehangatan dan dukungan (warmth and support), yakni dimensi yang menggambarkan situasi interaksi antara anggota organisasi. Interaksi yang baik dan harmonis dari seluruh anggota arganisasi akan memberikan kepuasan pada setiap anggota organisasi. Berkaitan dengan interaksi antar anggota organisasi, Mira (2003: 92) menyatakan bahwa rekan sekerja yang ramah dan mendukung, perilaku atasan yang bersifat ramah dan dapat memahami, mendengarkan pendapat karyawan serta menunjukkan suatu minat pribadi pada karyawan, merupakan determinan utama kepuasan.
6) Konflik (conflict), yakni dimensi yang menggambarkan situasi yang terjadi bila ada permasalahan dalam aktivitas organisasi. Rendall dan Susan (1999: 243 ) menyatakan bahwa cara yang dapat dilakukan perusahaan dalam mengatasi konflik adalah melalui komunikasi terbuka, negosiasi, dan saling menghargai.
Sementara itu Housser (dalam Kamuli, 2004: 21) mengemukakan dimensi-dimensi iklim organisasi sebagai berikut :
a. Decision making practice (praktek pengambilan keputusan)
b. Communication flow (arus komunikasi)
c. Motivasional condition (kondisi yang memotivasi)
d. Human resources primary (penghargaan terhadap sumber daya manusia)
e. Lower level influence (pengaruh bawahan)
f. Technological readiness (penyediaan teknologi)
Berkaitan dengan iklim organisasi di dunia pendidikan, khususnya di pendidikan formal (sekolah), Halfin dan Crofts (dalam Praja, 2002:51) mengemukakan delapan dimensi yang menjadi karakteristik iklim organisasi sekolah, yaitu: 1) hindrace (gangguan), 2) intimacy (keakraban), 3) disengagement (keadaan berlepas diri), 4) esprit (semangat kerja), 5) productions emphasis (penekanan pada hasil), 6) aloofness (pembuatan jarak sosial), 7) concideration (pertimbangan dan perhatian), dan 8) thrust (dorongan serta bimbingan). Karakteristik iklim organisasi sekolah ini merupakan tolok ukur kondisi iklim organisasi sekolah, sehingga dijadikan satuan pengukuran dengan nama OCDQ (The Organizational Climate Description Questionaire). Pada pengukuran OCDQ, responden diminta untuk melukiskan sejauhmana masing-masing pernyataan menunjukkan sifat atau ciri iklim organisasi sekolah.
Halfin dan Crofts membedakan ke delapan dimensi iklim organisasi sekolah menjadi dua bagian sama besar, yakni satu bagian menyangkut sifat-sifat yang merupakan perilaku pada staf pengajar (faculty behavior), sementara bagian lain menyangkut sifat-sifat yang mencerminkan perilaku kepala sekolah (principle behavior).
Dimensi yang berkenaan dengan karakteristik iklim organisasi sekolah yang menyangkut perilaku staf pengajar (guru) terdiri dari: 1) hindrace (gangguan), 2) intimacy (keakraban), 3) disengagement (keadaan berlepas diri), dan 4) esprit (semangat kerja). Sementara dimensi yang memperlihatkan karakteristik yang menyangkut perilaku kepala sekolah mencakup: 1) productions emphasis (penekanan pada hasil), 2) aloofness (pembuatan jarak sosial), 3) concideration (pertimbangan dan perhatian), dan 4) thrust (dorongan serta bimbingan).
Dimensi yang berkenaan dengan karakteristik iklim organisasi sekolah yang menyangkut perilaku staf pengajar (guru) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hindrace, menunjukkan perasaan staf pengajar (guru) terhadap kepala sekolah. Pada karakteristik ini guru menunjukkan perasaan bahwa kepala sekolah membebani mereka dengan tugas-tugas rutin, pekerjaan kepanitiaan, dan tugas lainnya yang semuanya dirasakan oleh guru sebagai kesibukan yang tidak perlu.
b. Intimacy, merujuk kepada rasa senang dari guru akan adanya hubungan pribadi yang hangat dan rasa berteman antara teman sejawat.
c. Disengagement, merujuk kepada kecenderungan yang ada pada diri guru dalam melakukan sesuatu, tidak merasa adanya ikatan tanggung jawab dalam menjalankan tugas.
d. Esprit, merujuk kepada adanya semangat kerja yang tumbuh saat melaksanakan tugas dan rasa puas karena telah dipenuhinya kebutuhan sosial mereka.
Dimensi yang berkenaan dengan karakteristik iklim organisasi sekolah yang berkaitan dengan perilaku kepala sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Production emphasis, merujuk kepada perilaku kepala sekolah dengan ditandai pengawasan ketat terhadap guru-guru, berperilaku serba perintah, serta kurang peka terhadap keadaan dan kemampuan guru.
b. Aloofnes, merujuk kepada perilaku kepala sekolah yang selalu serba resmi dan tidak menunjukkan adanya kedekatan pribadi dengan para guru, selalu menekankan pada rujukan-rujukan secara tertulis, serta senantiasa memelihara jarak antara dirinya dengan para guru.
c. Consideration, merujuk kepada perilaku kepala sekolah yang berupaya menciptakan suasana hangat dan perasaan berteman dengan para guru, senantiasa berusaha untuk memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang dapat diberikan oleh seorang pimpinan kepada bawahannya.
d. Thrust, merujuk kepada perilaku kepala sekolah yang menggambarkan sifatnya yang dinamis dalam usaha menggerakan organisasi sekolah dengan memberikan berbagai dorongan dan contoh teladan bagi guru.
Bila dikaitkan dengan permasalahan penelitian, pendapat Halfin dan Crofts di atas lebih berfokus kepada pengkuran iklim organisasi sekolah. Oleh karena itu dimensi iklim organisasi dari Halfin dan Crofts direncanakan akan digunakan sebagai parameter pengukuran iklim organisasi sekolah.

Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Burton et. al. (1999: 1) menyatakan: “Organization climate is the atmosphere of the organization ‘a relatively enduring quality of the internal environment of an organization’, which is experienced by its members and influences their behavior”. Iklim organisasi adalah suasana dalam organisasi, ‘bersifat relatif dalam sebuah lingkungan organisasi’, yang dialami dan mempengaruhi perilaku anggota organisasi tersebut. Sementara Gibson et. al. (1996:702) menyatakan bahwa “iklim organisasi merupakan serangkaian keadaan lingkungan dalam organisasi yang dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh para karyawan, dan diasumsikan merupakan kekuatan yang besar dalam mempengaruhi perilaku karyawan”. DuBrint (dalam Praja, 2002: 49) mengemukakan pengertian iklim organisasi dalam dua dimensi. Pertama: iklim organisasi adalah seperangkat karakteristik yang mencakup: 1) membedakan organisasi yang satu dengan yang lain, 2) secara relatif berlangsung lama, 3) mempengaruhi perilaku orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut. Kedua: iklim organisasi dipandang sebagai lingkungan internal organisasi yang secara relatif berlangsung lama dan membedakan organisasi lainnya.
Iklim organisasi berasal dari perilaku dan kebijaksanaan anggota-anggota organisasi, dirasakan oleh anggota-anggota organisasi, berperan sebagai dasar untuk menafsirkan situasi, dan berlaku sebagai sumber penekanan guna mengarahkan aktivitas. Iklim organisasi dapat diartikan sebagai serangkaian karakteristik organisasi yang dirasakan dan mem-pengaruhi perilaku orang-orang yang ada dalam organisasi. Dengan demikian iklim organisasi pada hakikatnya adalah:
1) Sekumpulan karakteristik yang menjelaskan tentang organisasi. Karakteristik setiap organisasi akan berbeda karena kadar dari setiap karakteristik yang dimiliki organisasi berbeda satu dengan lainnya.
2) Suasana internal dalam organisasi yang dirasakan oleh setiap individu yang bekerja dalam organisasi tersebut. Bila iklim organisasi kondusif, maka kinerja karyawan akan meningkat.
3) Konsep yang dinamis karena iklim organisasi akan berlangsung untuk jangka waktu tertentu.
Pengertian iklim organisasi dan hakikat iklim organisasi di atas berlaku pula untuk organisasi sekolah. Perihal iklim organisasi sekolah, Hoy dan Miskel (dalam Praja, 2002:50) menyatakan bahwa iklim organisasi sekolah adalah seperangkat karakteristik internal suatu sekolah yang membedakannya dengan sekolah yang lain dan karakteristik itu akan mempengaruhi orang-orang yang ada disekolah tersebut.
Memperhatikan uraian di atas, nampak bahwa iklim organisasi berhubungan erat dengan orang-orang yang melaksanakan tugas organisasi guna tercapainya tujuan organisasi.

Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Bagaimana budaya organisasi dibangun dan dipertahankan, menurut Robbins (2003) digambarkan dalam Gambar 1. berikut ini :

Gambar 2.1. Pembentukan Budaya Organisasi


Sumber : Robbins, Organization Behavior (2003)

Budaya diturunkan dari filsafat pendirinya. Filsafat tersebut memiliki asumsi, persepsi atau artifak dan nilai-nilai yang harus diseleksi terlebih dahulu. Seleksi ini bertujuan untuk menentukan kriteria yang sesuai. Hasil seleksi akan menjadi karakteristik budaya organisasi. Setelah adanya karakteristik tersebut manajemen puncak akan menentukan mana yang sesuai untuk dilaksanakan dan mana yang harus dihilangkan. Selanjutnya proses internalisasi kepada karyawan melalui tahapan proses sosialisasi. Keberhasilan proses sosialisasi tergantung pada tingkat keberhasilan mendapatkan kesesuaian dari nilai-nilai yang dimiliki oleh karyawan baru terhadap organisasi dan metode sosialisasi yang dipilih manajemen puncak dalam mengimplementasikannya. Selain itu juga tergantung pada relevansi kepercayaan filosofi para pendiri terhadap kesempatan saat ini dan hambatan-hambatan yang menghalangi organisasi.
Oleh karena itu, perilaku top level leader menjadi simbol budaya baru suatu organisasi.

Nilai-nilai organisasi yang telah dipahami dan diyakini oleh para karyawan, akan menjadi suatu kepribadian organisasi. Nilai-nilai tersebut akan menjadi acuan keseharian karyawan dalam bekerja, berperilaku dan bertindak sehingga akan menjadi kinerja individu. Dengan didukung oleh SDM, sistem dan tehnologi, strategi perusahaan dan logistik, masing-masing kinerja individu yang baik akan menimbulkan kinerja organisasi yang baik pula.

Gambar 2. Hubungan antara Budaya Kerja dan Kinerja Pegawai


Sumber : Moeljono (2004) Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Ada banyak, pendapat untuk mencirikan budaya suatu organisasi. Robbins (2003) mengemukakan tujuh karakteristik primer atau utama yang digunakan secara bersama untuk memahami hakikat dari suatu budaya organisasi. Ketujuh karakteristik primer tersebut meliputi:
1. Inovasi dan pengambilan resiko (innovation and risk taking).
Sejauhmana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko dalam melakukan tugas dan pekerjaannya.
2. Perhatian terhadap detail (attention to detail).
Sejauhmana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi ?ada hasil (outcome orientation).
Sejauhmana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi orang (people crientation).
Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi pada tim (team orientation).
Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasar individu.
6. Agresivitas (aggresiveness).
Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai santai.
7. Kemantapan (stability).
Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.

Setiap karakteristik tersebut berada pada bobot dari rendah ke tinggi. Oleh karenanya dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut akan diperoleh gambaran gabungan atas budaya organisasi itu. Gambaran itu menjadi dasar bagi perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, cara penyelesaian urusan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.
Para karyawan membentuk persepsi keseluruhan mengenai organisasi berdasarkan karakteristik budaya organisasi seperti yang telah diuraikan di atas. Persepsi karyawan mengenai realitas budaya organisasinya menjadi dasar karyawan berperi;aku, bukan mengenai realitas budaya organisasi itu sendiri. Persepsi yang mendukung atau tidak mendukung berbagai karakteristik organisasi tersebut kemudian mempengaruhi kinerja karyawan (Robbins, 2003).

Sedangkan Jakarta Consulting Group menggunakan sepuluh macam karakteristik budaya organisasi (Susanto A.B, 1997), yang meliputi:
1. Inisiatif Individu
Seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Meliputi derajat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi dari masing-masing anggota organisasi. Seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam menjalankan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai kewenangannya dan seberapa luas kebebasan dalam mengambil keputusan.
2. Toleransi
Seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko di dalam pekerjaannya.
3. Pengarahan
Kejelasan organisasi dalam menentukan tujuan dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan waktu.
4. Integrasi
Bagaimana unit-unit dalam organisasi didorong untuk melakukan kegiatannya dalam suatu koordinasi yang baik. Seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama ditekankan dalam pelaksanaan tugas. Seberapa dalam interdependensi antar sumber daya manusia.
5. Dukungan Manajemen
Seberapa jauh para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
6. Pengawasan
Meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan.
7. Identitas
Pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh. Seberapa jauh loyalitas terhadap organisasi.
8. Sistem Penghargaan
Alokasi reward yang berdasarkan pada kriteria hasil kerja karyawan. Pada perusahaan yang sistem penghargaannya jelas, semuanya telah terstandarisasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
9. Toleransi Terhadap Konflik
Usaha mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi. Dalam budaya perusahaan yang toleransi konfliknya tinggi, perdebatan dalam pertemuan adalah sesuatu yang wajar. Tetapi dalam perusahaan yang toleransi konfliknya rendah, SDM akan menghindari perdebatan dan menggerutu.
10. Pola Komunikasi
Komunikasi organisasi yang terbatas pada hierarki formal dari setiap perusahaan.

Selanjutnya, Susanto A.B (1997) memperkenalkan 2 macam budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi, yaitu budaya entrepreneur dan budaya administratif. Perusahaan yang memiliki budaya entrepreneur dalam setiap aktivitasnya selalu memfokuskan pada peluang-peluang baru. Tercermin dalam jiwa kewiraswastaan yang selalu menganggap bahwa dengan menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut perusahaan akan selalu survive dan terdorong untuk selalu berusaha mencapai sasaran yang berbeda-beda dari suatu periode ke periode berikutnya. Oleh karenanya kegiatan operasional di dalam perusahaan tipe ini cukup dinamis dan membutuhkan sumber daya manusia yang cukup cepat di dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi baik dari sisi internal maupun eksternal. Di samping itu perusahaan akan berusaha memenuhi sarana yang dibutuhkan untuk merealisasikan kegiatannya di dalam meraih keberhasilan dari peluang baru tersebut.

Sedangkan perusahaan yang memiliki budaya administratif sangat bertolak belakang dari budaya entreprenur, terlihat pada budaya administratif seluruh aktivitas yang dilakukan lebih memfokuskan pada peluang-peluang yang sudah ada. Sabah budaya ini memandang bahwa peluang yang diperoleh harus terus dipertahankan karena usaha untuk mendapatkan pekerjaan tersebut telah diinvestasikan dana yang cukup besar. Oleh karenanya dibutuhkan prosedur pengendalian yang cukup ketat untuk mempertahankan peluang yang sudah diperoleh. Dalam kegiatan pada budaya administratif ini, tingkat dinamika yang terjadi tidak terlalu tinggi seperti pada budaya entrepreneur.

Dalam artikelnya, Deshpande et al. (1993:25) memperkenalkan atribut budaya sebagai budaya Kompetitif (Competitive), Inovasi (innovative), Birokratis (Bureaucratic) dan Komunitas (community). Ukuran-ukuran budaya yang dikembangkan ini cukup ringkas, dapat diterapkan dan diterima praktisi serta respondent friendly. Bila dilihat lebih lanjut keempat atribut budaya tersebut memiliki kesamaan, dengan karakteristik yang disampaikan oleh Robbin (2003).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa budaya organisasi pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang ada di dalam hierarki organisasi, sehingga budaya organisasi tersebut sangat penting perannya dalam mendukung terciptanya suatu organisasi yang efektif. Lebih spesifik lagi, budaya organisasi dapat berperan dalam menciptakan jati mengembangkan keikatan pribadi dengan organisasi sekaligus menyajikan pedoman perilaku kerja.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Beberapa penulis dan peneliti menggunakan istilah budaya organisasi (Organizational Culture), budaya perusahaan atau budaya corporat (Corporate culture) dan budaya kerja untuk menjelaskan budaya dalam suatu organisasi atau perusahaan. Secara umum ketiga terminologi tersebut memiliki pengertian yang sama.

Sebelum memahami pengertian budaya organisasi, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian budaya. Owens (1991) mengemukakan budaya sebagai suatu sistem pembagian nilai dan kepercayaan yang berinteraksi dengan orang dalam suatu organisasi, struktur organisasi dan sistem kontrol yang menghasilkan norma perilaku.

Owens (1991) menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah.
Menurut Kotter dan Heskett (1992) budaya perusahaan dapat dilihat pada dua tingkatan yang berbeda, pertama budaya merujuk pada nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompoknya. Kedua budaya mencerminkan pola perilaku atau gaya organisasi yang mesti diadopsi oleh karyawan-karyawan baru.

Robbins (2003) mengemukakan bahwa budaya perusahaan adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi satu dengan organisasi lainnya. Moeljono (2003) menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai perekat dan dapat dijadikan acuan dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan yang telah ditetapkan.

Schein (1992) memandang budaya organisasi sebagai suatu pola asumsi-asumsi mendasar yang dipahami bersama dalam sebuah organisasi terutama dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Pola-pola tersebut menjadi sesuatu yang pasti dan disosialisasikan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi.

Lebih jauh lagi Schein menggambarkan adanya tiga tingkatan atau lapisan budaya organisasi, yaitu :
1. Artifak (Artifacts)
Artifak merupakan tingkat budaya yang tampak dipermukaan. Termasuk dalam artifak adalah semua fenomena yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan Ketika seseorang memasuki sebuah kelompok dengan budaya yang masin asing baginya. Termasuk dalam artifak juga adalah produk yang tampak (visible products) dari organisasi seperti rancangan lingkungan fisik, bahasa, teknologi, produk, kreasi artistik, gaya dalam berbusana, pengungkapan emosi, mitos dan cerita tentang organisasi, nilai-nilai organisasi yang dipublikasikan, ritual, perayaan-perayaan.

2. Nilai-nilai yang diyakini (expoused values)
Dalam organisasi terdapat nilai-nilai tertentu yang umumnya dicanangkan oleh tokoh-tokoh seperti pendiri dan pemimpinnya, yang menjadi pegangan dalam menekankan ketidakpastian pada bidang-bidang yang kritis. Nilai-nilai itu menjadi sesuatu yang tidak lagi didiskusikan dan didukung oleh perangkat keyakinan, norma serta aturan-aturan operasional mengenai perilaku dalam organisasi Hal-hal tersebut membentuk suatu kesadaran dan secara eksplisit diucapkan serta dilakukan karena telah berfungsi sebagai norma atau moral yang memandu anggota organisasi dalam menghadapi situasi tertentu dan melatih anggota Baru.

3. Asumsi-asumsi dasar (basic assumptions)
Merupakan asumsi-asumsi dasar yang telah ada sebelumnya (taken for granted) dan menjadi panduan perilaku bagi anggota organisasi dalam memandang suatu permasalahan. Jika asumsi dasar dipegang teguh, maka anggota organisasi akan merumuskan perilaku berdasarkan pada kesepakatan-kesepakatan yang berlaku. Asumsi-asumsi dasar cenderung untuk tidak dipertentangkan atau diperdebatkan dan cenderung sangat sulit diubah.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Dalam suatu perusahaan diperlukan suatu acuan baku sehingga karyawan dapat diberdayakan secara optimal. Acuan baku tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk budaya perusahaan yang secara sistematis menuntun para karyawan untuk meningkatkan komitmen kerjanya bagi perusahaan dan pada akhirnya meningkatkan kinerja perusahaan. Dengan demikian budaya perusahaan memegang fungsi yang strategis dalam operasional suatu perusahaan.

Robbins (2003) merinci fungsi budaya organisasi sebagai berikut, Pertama budaya mempunyai peranan pembeda atau tapa batas, artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain. Kedua, budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang. Keempat, budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Kelima, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

Sementara itu Schein (1992) membagi fungsi budaya organisasi berdasarkan tahap pengembangannya, yaitu (1) fase awal yang merupakan tahap pertumbuhan organisasi, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik terhadap lingkungan maupun kelompok atau organisasi lain. (2) fase pertengahan, budaya organisasi berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub budaya baru sebagai penyelamat krisis identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan perubahan budaya organisasi, dan (3) fase dewasa, budaya organisasi berfungsi dapat sebagai penghambat dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.

Susanto mengungkapkan dua sisi manfaat yang diperoleh apabila budaya perusahaan dipahami oleh seluruh lapisan sumber daya manusia dan bagi perusahaan. Manfaat bagi sumber daya manusia adalah (1) sebagai pedoman berperilaku di dalam perusahaan. Dalam hal ini karyawan tidak dapat semena-mena bertindak atau berperilaku sekehendak hati, melainkan harus menyesuaikan diri dengan siapa dan dimana mereka berada. (2) adanya kesamaan langkah dan visi di dalam melakukan tugas dan tanggung jawab masing-masing individu dapat meningkatkan fungsinya dan mengembangkan tingkat interpendensi antar individu atau bagian karena Individu atau bagian yang lain saling melengkapi dalam kegiatan usaha perusahaan. (3) memberikan dorongan kepada karyawan untuk mencapai prestasi kerja atau produktivitas yang lebih baik. (4) mengetahui secara pasti tentang karirnya di perusahaan sehingga mendorong mereka untuk konsisten dengan tugas dan tanggung jawab.

Adapun manfaat yang diperoleh perusahaan antara lain: (1) merupakan salah satu unsur yang dapat menekan tingkat perputaran (turn over) karyawan, karena budaya perusahaan mendorong karyawan memutuskan untuk tetap berkembang bersama perusahaan tersebut. (2) sebagai pedoman di dalam menentukan kebijakan yang berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan intern perusahaan seperti tata tertib administrasi, hubungan antar bagian, penghargaan prestasi karyawan, penilaian kerja dan lain-lain. (3) untuk menunjukkan pada pihak eksternal tentang keberadaan perusahaan dari ciri khas yang dimiliki, di tengah-tengah perusahaan yang ada di masyarakat. (4) merupakan acuan dalam penyusunan perencanaan perusahaan (corporate planning). (5) dapat membuat program-program pengembangan usaha dan pengembangan sumber daya manusia dengan dukungan penuh dari seluruh jajaran sumber daya manusia yang ada.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang