Arsip

Monthly Archives: April 2011

Technorati adalah salah satu mesin pencari yang mengkhususkan diri pada blog. Saat ini sudah jutaan blog yang terdaftar di Technorati. Sebagai sebuah komunitas yang besar, Technorati bisa menjadi salah satu sumber untuk mendapatkan pengunjung. Karena itu sangat berasalan bagi kita untuk ikut mendaftarkan blog yang kita buat pada Technorati. Disamping untuk menjaring pengunjung, Technorati juga bisa dijadikan alat untuk mencari link dari blog-blog lain yang mempunyai tema yang sama.

Technorati merupakan salah satu directory blog yang cukup populer. Hingga kini, Technorati masih menjadi favorit para blogger. Keuntungan dari layanan ini adalah dikenal luasnya suatu blog dan meningkatkan trafik pada blog tersebut.

Technorati merupakan salah satu webmaster yang sangat berpengaruh untuk peningkatan peringkat laman pada blog maupun situs, serta traffic yang tinggi.


Promosi Blog di Technorati

Salah satu cara mempromosikan blog yaitu dengan cara mendaftarkan blog ke banyak situs social Bookmark dan salah satunya adalah Technorati. Technorati cukup popular di kalangan blogger karena terbukti mampu meningkatkan traffic atau kunjungan ke blog kita.

Technorati Menggunakan istilah Claim Blog untuk pendaftaran (submit) blog. Berikut ini cara claim blog ke technorati.

Pertama-tama silakan sign up di http://www.technorati.com.

Untuk melakukan claim blog caranya adalah sebagai berikut:
1. Login ke akun technorati anda
2. Di bagian kanan atas, klik username anda maka akan tampil halaman profil anda, atau http://technorati.com/account/
3. Setelah halaman account terbuka, klik tombol claim blog >> Start a blog claim
4. Masukkan data tentang blog anda untuk feednya pastikan anda sudah daftarkan blog ke feedburner.

Jika menggunakan blogspot:
Feed blog anda: http://namablog.blogspot.com/feeds/posts/default
Contoh: http://kabar-pendidikan.blogspot.com/feeds/posts/default

Jika menggunakan wordpress :
Feed blog anda: http://namablog.wordpress.com/feed

Jika menggunakan domain dengan hosting:
http://namablog.com/net/infodll/feed Contoh: http://namablog.com/feed/

Selanjutnya teruskan pengisian dengan klik tombol “procees to next step”
5. Klik Return to profile
6. Klik Check claim apabila sudah mengikuti step diatas dan cek email dari technorati yang isinya untuk verify claim token, klik tombol Verify Claim.

Selanjutnya anda harus menulis artikel singkat atau seperti ini (silahkan copy paste artikel ini dengan menyebut subernya) dan masukan kode unik dari technorati di dalam postingan blog anda seperti Unique Code: P6VMDHYAC32F dengan tujuan agar robot technorati bisa melacak keberadaan token tersebut.

Dan setelah artikel di publish, anda kembali ke situs technorati Selanjutnya klik tombol verify di technorati. Apabila technorati gagal mendeteksi blog anda maka claim blog yang di tampilkan berwarna orange. Bersabarlah menunggu hingga blog anda di verify.

Apabila pada bagian My Claimed blog muncul pesan di bawah ini:
We could not find the claim token in any posts in your feed. Please make sure that you have entered it correctly in a post body and that the token appears in the feed whose URL you have given us

Itu berarti postingan yang berisi kode verify belum terindeks di feed, tunggu hingga postingan anda terindeks di feed, atau anda salah memasukkan url feed saat mendaftar.

Setelah postingan sudah terindeks di feed blog bisa lakukan klaim ulang. Jika muncul pesan berikut We have successfully crawled your blog and foundthe claim token, and your claim is now awaiting review, itu berarti blog anda sudah melewati tahap verifikasi, selanjutnya hanya menunggu review dari tehnorati, jika lolos review maka blog anda akan terdaftar di technorati.


Berkenaan dengan penilaian kinerja, belakangan ini kebanyakan organisasi mengeluh mengenai rendahnya kontribusi dari sistem penilaian kinerja bagi kemajuan organisasi. Padahal penelitian-penelitian ilmiah menunjukkan bahwa apabila manajemen kinerja dijalankan dengan benar, maka dipastikan akan berdampak positif bagi kinerja keseluruhan organisasi, bahkan hingga tingkatan di bawah. Manajemen kinerja dapat dibuat untuk keperluan penilaian pada tingkatan Individual, kelompok atau keseluruhan organisasi. Informasi yang terhimpun dari penilaian kinerja sangat bermanfaat baik untuk keperluan pengembangan sistem kompensasi, manajemen dan perbaikan kinerja ataupun untuk keperluan dokumentasi. Untuk keperluan sistem kompensasi, informasi dari penilaian kinerja ini sejalan dengan expectancy theory yang menyatakan bahwa motivasi karyawan terkait dengan dorongan untuk berprestasi dan penghargaan atas prestasi dan usahanya.

Istilah Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Menurut Mangkunegara (2000), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Kinerja atau performance merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi, dan untuk memaksimalkan kinerja masing-masing individu, berhubungan dengan perilaku individu (Prawirosentono, 1999).

Kinerja di sini dilihat sebagai kinerja karyawan yang akan baik bila mempunyai keahlian tinggi, bersedia bekerja karena digaji atau diberi upah sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan masa depan yang lebih baik. Sehingga kinerja sebagai hasil yang diperoleh karyawan berdasarkan ukuran yang berlaku untuk suatu tugas atau pekerjaan yang dilaksanakan dalam waktu tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang guru di lembaga pendidikan atau sekolah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan kata lain, Hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhannya.

Menurut Lopez (1982) dalam Rahma (2005), ada korelasi antara kinerja dan kepuasan kerja dengan tingkat signifikansi yang tinggi. Mengukur kinerja karyawan secara umum, adalah: 1). Kuantitas kerja, 2). Kualitas kerja, 3). Pengetahuan tentang kerja, 4). Pendapat atau pernyataan yang disampaikan, 5). Keputusan yang diambil, 6). Perencanaan kerja, 7). Daerah organisasi kerja.

Kinerja adalah suatu ukuran yang menyangkut keefektifkan dan efesiensi dalam mencapai tujuan dan efesiensi yang merupakan rasio dari keluaran efektif terhadap masukan yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. (Robbins, 1999). Dengan demikian kinerja dapat dikatakan sebagai perilaku kerja seseorang guna mencapai tujuan. Hasil yang dicapai menunjukkan efektifitas kerja yang bersangkutan. Perilaku kerja yang pada gilirannya mempengaruhi hasil kerja ada dua faktor, yaitu
(1) Faktor dari dalam individu : seperti ketrampilan dan upaya yang dimiliki,
(2) Faktor dari luar diri individu : Keadaan ekonomi, kebijakan pemerintah, perubahan kurikulum dan sebagainya(Robbins, 1999).

Selanjutnya Smith dalam Robbins (1999) mengkaitkan kinerja dengan tujuan organisasi sebagai berikut : Pengertian kinerja berhubungan dengan tugas aspek pokok yaitu : perilaku hasil dan efektifitas organisasi. Perilaku menunjukkan pada kegiatan pencapaian tujuan. Sementara hasil menunjukkan pada efektifitas perilaku individu baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, sedangkan efektif organisasi merupakan langkah –langkah dalam pertimbangan hasil kerja organisasional, menekankan pada aspek proses.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Ada beberapa pandangan ahli organisasi dan perilaku tentang kinerja :
1) Georgopolus dalam Maier (1990) mengemukakan bahwa kinerja adalah fungsi dari “facilitating” dan “Path Goal Theory”. Teori ini berkaitan dengan masalah motivasi. Hal ini dipahami bahwa kinerja itu merupakan fungsi dari motivasinya ditentukan oleh needs yang mendasari tujuan yang bersangkutan dan merupakan alat dari tingkah laku produktif terhadap tujuan yang diinginkan. Teori ini tergolong dalam Goal Theory (Teori tujuan).

2) Maier (1990) mengemukakan bahwa perbedaan orang yang satu dengan yang lain didalam situasi kerja adalah karena pebedaan karakteristik dari individu. Disamping itu orang yang sama dapat mengahasilkan kinerja yang beda didalam situasi yang berbeda pula. Pandangan ini menunjukkan adanya faktor dominan yang mempengaruhi perilaku manusia, yakni faktor-faktor individu dan faktor-faktor situasi.

3) Teori harapan. Pendekatan teori ini, tentang kinerja tertera dalam rumus dibawah ini:
Ki = MxK
Ki = Kinerja
M = Motivasi
K = Kecakapan

Rumus diatas dapat dipahami bahwa kinerja merupakan hasil interaksi antara motivasi dan kemampuan dasar. Orang yang motivasinya tinggi tetapi kemampuan dasar rendah maka kinerja akan rendah. Begitu pula sebaliknya.

4) Model Lawler dan Porter (1990) kedua ahli ini mengemukakan model kinerja sebagai berikut:
Kinerja = Usaha x Kecakapan x Persepsi peran
Keterangan :
– Usaha adalah banyaknya energi yang dikeluarkan dalam situasi tertentu.
– Kecakapan adalah karakteristik individual seperti intelegensi, ketrampilan dan lain-lain yang merupakan kekuatan potensi seseorang untuk melakukan sesuatu.
– Persepsi peran adalah kesesuaian antara usaha yang dilakukan dengan pandangan atasan tentang tugas yang dilakukan.

5) Model Anderson dan Butzin dalam Sujak (1990) model ini awalnya adalah dari pembuktian terhadap model kinerja = Motivasi x Kemampuan. Anderson dan Butzin menemukan bahwa ternyata model perkalian ini tidak lebih dari model tambahan. Mereka memberikan model penggunaaan perkalian dan tambahan seperti dibawah ini :
Kinerja = (Kinerja Lampau) + (motivasi x kecakapan) masa depan.

Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini teori kinerja yang dipakai adalah teori Georgopulus. Dimana dalam teori ini labih menekankan pada unsur motivasi yang merupakan suatu fungsi dan ditentukan oleh kebutuhan yang mendasari tujuan dan merupakan alat dari pada perilaku produktif terhadap tujuan yang diinginkan. Dimana dalam penelitian ini ditunjukkan pada indikator-indikator penelitian yang menekankan pada aspek perilaku guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat mempengaruhi kinerja yang bersangkutan.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Untuk menilai kinerja karyawan, perlu tersedia data yang akurat mengenai sejumlah potensi yang dimiliki karyawan sehingga menghasilkan data yang konsisten (terpercaya) dan dianggap benar agar dapat diukur (valid). Sistem penilaian yang terpercaya menghasilkan penilaian yang sama dalam menilai karyawan bukan hanya pada saat melakukan penilaian, tetapi juga tidak melakukan penilaian secara formal, hasilnya akan sama karena prosedurnya sama dan terpercaya. Untuk itu perlu ada kriteria dan standar kinerja.

Kriteria kinerja harus dikaitkan dengan pekerjaan yang dengan mudah dilakukan analisis jabatan. Kontribusi karyawan terhadap organisasi kemudian di evaluasi berdasarkan kriteria tersebut dan mencapai hasil berdasarkan Ketentuan dalam analisis pekerjaan. Kriteria penilaian kinerja yang paling populer menurut Robbins (2003) adalah berdasarkan hasil tugas individual, perilaku dan ciri.

Tidak ada format tunggal penilaian kinerja yang dapat digunakan oleh setiap organisasi. Setiap rancangan tergantung pada budaya organisasi. Dengan demikian dimensi pekerjaan karyawan yang akan dinilai tergantung pada budaya organisasi dan jenis serta tingkat pekerjaan dalam organisasi yang bersangkutan. Menurut Ricciardi (1996) dalam Rahma (2005) suatu penilaian kinerja menyeluruh harus mengukur kemampuan menghasilkan output yang benar dengan cara yang benar, tepat waktu dalam satu upaya.

Heneman III et.al. (1981) dalam Rahma (2005) mengemukakan empat dimensi pekerjaan, yaitu: (1) kualitas pekerjaan, (2) kuantitas pekerjaan, (3) inisiatif dalam pekerjaan, dan (4) peluang untuk dapat dipromosikan pada tingkat yang lebih Sedangkan menurut Maier dalam As’ad 1998 kriteria ukuran kinerja seorang karyawan adalah: (1) kualitas, (2) kuantitas, (3) waktu yang dipakai, (4) jabatan yang dipegang, (5) absensi, (6) keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Dan Mitchell & Larson (1991) dalam Soperihanto (2001) mengajukan lima bidang kinerja yaitu: (1) kualitas kerja, (2) ketepatan waktu, (3) inisiatif, (4) kapabilitas, dan (5) komunikasi.

Sedangkan Russell dan Benardin (1998) menyebutkan kinerja seseorang dapat dijelaskan melalui enam aspek nilai, yaitu: (1) kuantitas, (2) kualitas, (3) jangka waktu, (4) penghematan biaya, (5) kebutuhan pengawasan, (6) pengaruh interpersonal.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Kata penilaian atau appraisal dapat berarti evaluation, assessment, measurement. Kata appraisal dapat diartikan penilaian yang lebih menyeluruh dan cenderung bersifat kuantitatif serta hasilnya bukan digunakan untuk seleksi atau penetapan kenaikan pangkat melainkan untuk keperluan pembinaan. Penilaian adalah sebuah mekanisme yang baik untuk mengendalikan orang. Karyawan menginginkan kenaikan gaji, mereka menginginkan lingkungan kerja yang baik, mereka menginginkan ditempatkan pada posisi yang berpretise, dan ingin dipindahkan ke tempat-tempat pilihan mereka dan menginginkan pekerjaan memberi mereka kepuasan sebesar –besarnya dan seterusnya. Oleh karena itu apabila orang memperoleh apa yang diinginkan oleh pimpinan mereka.

Penilaian kinerja membantu guru-guru dalam mengenal tugasnya dengan lebih baik. Sehingga guru akan menjalankan proses belajar mengajar yang efektif mungkin untuk kemajuan siswa dan pendidikan. Disamping itu penilaian dapat memberi masukan yang berharga dalam memantu memenuhi kebutuhan guru akan pengembangan profesi dan kariernya, misalnya melalui latihan dalam tugasnya (In – service training).

Penilaian tidak dimaksudkan untuk mengkritik dan mencari kesalahan, melainkan mendorong guru dalam pengartian yang konstuktif untuk mengembangkan diri menjadi lebih professional yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan siswa. Hal ini menuntut perubahan perilaku dan kesediaan guru memeriksa diri secara berkelanjutan.

Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian mempunyai banyak manfaat karena dapat dipergunakan sebagai alat dalam pengambilan keputusan Roger Bellows dalam Susilo Martoyo (1997) mengemukakan bahwa manfaat penilaian kinerja guru antara lain dapat dipergunakan sebagai dasar untuk pembayaran upah, gaji dan bonus, sebagai alat dalam pengawasan penugasan pekerjaan, penentuan latihan dan pengembangan, sebagai alat pemberi rangsangan dan dalam pemberian nasehat-nasehat pada guru.

Sementara Depdiknas (2000) menyebutkan beberapa manfaat dari adanya penilaian antara lain: a) pengembangan staf melalui in-service training, b) pengembangan karier melalui in-service training, c) hubungan yang semakin baik antara staf dan pemimpin, d) pengetahuan lebih mendalam tentang sekolah dan pribadi, e) hubungan produktif antara penilaian dengan perencanaan dengan pengembangan sekolah, f) kesempatan belajar yang lebih baik bagi siswa, g) peningkatan moral dan efsiensi sekolah

Tujuan Penilaian Kinerja
Setiap penilaian kinerja guru harus memiliki tujuan yang jelas tentang apa yang ingin dicapai. Susilo Martoyo (1997) mengemukakan tujuan yang ingin dicapai antara lain:
1) Mengidentifikasi para guru yang membutuhkan pendidikan dan latihan.
2) Menetapkan kenaikan gaji guru.
3) Menetapakan kemungkinan pemindahan guru ke penugasan baru .
4) Menetapkan kebijaksanaan baru dalam rangka reoganisasi yang akan
5) Mengidentifikasi para guru yang akan dipromosikan kejabatan yang lebih tinggi.

Selain itu penilaian kinerja guru bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan siswa dengan membantu para guru menyadari potensi mereka dan dapat melaksanakan tugas efektif mungkin. Dalam kaitan Depdiknas (2000) menyebutkan bahwa tujuan penilaian adalah membantu dalam (a) pengembangan profesi dan karier guru, (b) pengambilan kebijaksanaan per sekolah, (c) cara meningkatkan kinerja guru, (d) penugasan yang lebih sesuai dengan karier guru, (e) mengidentifikasi potensi guru untuk program in-service training, (f) jasa bimbingan dan penyuluhan terhadap kinerja guru yang mempunyai masalah kinerja, (g) penyempurnaan manajemen sekolah, (h) penyediaan informasi untuk sekolah serta penugasan-penugasan.


Dipublikasikan Oleh:

M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Penilaian terhadap kinerja guru merupakan suatu upaya untuk mengetahui kecakapan maksimal yang dimiliki oleh guru bekenaan dengan proses dan hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan atas dasar criteria tertentu (Gordon, 1991). Kriteria yang digunakan untuk menilai kinerja guru harus selalu didasarkan atas keterkaitan dengan pekerjaannya. Agar penilaian kinerja guru benar-benar terfokus pada pekerjaannya, pengembangan criteria harus selalu didasarkan pada analisis pekerjaan (Robbins, 1980). Dengan demikian dapat dijamin bahwa criteria tersebut pada pokoknya dapat menerima prestasi kerja dan tidak dengan aspek-aspek yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penilaian kinerja tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : (a) tujuan evaluasi berkenaan dengan penentuan gaji, promosi, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, dan pemecatan pegawai, dan (b) tujuan pengembangan yang berkenaan dengan penilaian, umpan balik pengembangan karir pegawai dan pengembangan organisasi, perencanaan sumber daya manusia, perbaikan kinerja dan komunikasi (Owens, 1991 dan Gordon, 1991).

Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk menilai kinerja guru adalah berdasarkan SK Mendikbud Nomor 025/01/1995 yang di dalamnya dinyatakan bahwa : standar prestasi kerja guru adalah minimal yang wajib dilakukan guru dalam proses belajar dan mengajar atau bimbingan adalah sebagai berikut :
1) Penyusunan Program Belajar yang terdiri dari:
a) Analisis Materi Pelajaran (AMP)
b) Program Tahunan (Prota)
c) Program Semester (Promes)
d) Program Satuan Pelajaran (PSP)
e) Rencana Pembelajaran (RP)
f) Alat Evaluasi (AE)
g) Program Perbaikan dan Pengayaan
2) Pelaksanaan Program Pembelajaran yang meliputi :
a) Pelaksanaan pembelajaran di kelas
b) Penggunaan strategi pembelajaran
c) Penggunaan media dan sumber belajar
3) Pelaksanaan Evaluasi yang meliputi :
a) Evaluasi hasil belajar
b) Evaluasi pencapaian target kurikulum
c) Evaluasi daya serap
4) Analisis Evaluasi yang meliputi :
a) Analisis ketuntasan belajar
b) Analisis butir soal
5) Pelaksanaan Perbaikan dan Pengayaan yang meliputi :
a) Pelaksanaan perbaikan pembelajaran
b) Pelaksanaan pengayaan pembelajaran

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan diatas dapat dinyatakan bahwa kinerja guru akan dapat ditingkatkan dengan melakukan perencanaan program pembelajaran yang disusun secara sistematis, pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan program yang telah direncanakan, diadakan evaluasi pembelajaran dan dilaksanakan perbaikan dan pengayaan pembelajaran.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Dengan dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa komitmen dan prestasi merupakan permasalahan yang krusial, terutama bagi peningkatan produktivitas yang bertumpu pada sumber daya manusia maka pembahasan mengenai keduanya menjadi hal yang penting pula. Karyawan yang tingkat komitmennya tinggi mempunyai peluang yang lebih besar untuk mencapai tujuan yang diharapkannya. Oleh karena itu perusahaan akan lebih mudah mencapai sasaran dan tujuannya jika karyawan mempunyai komitmen terhadap organisasi. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa keberhasilan karyawan dalam mencapai tujuannya menggambarkan keberhasilan organisasi secara keseluruhan.

Dalam kerangka perilaku organisasi terdapat sejumlah sikap yang berkaitan dengan pekerjaan. Kebanyakan riset dalam ilmu perilaku organisasi memperhatikan ketiga sikap tersebut yang meliputi: kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen organisasi (Brooke, Russell, Price, 1988:139-145). Porter dan Smith dalam Steers (1985:142-145) mendefinisikan komitmen sebagai sifat hubungan seorang individu dengan organisasi yang memungkinkan seorang yang mempunyai komitmen yang tinggi memperlihatkan: (1) keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan; (2) kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi tersebut; dan (3) kepercayaan akan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Sejalan dengan pendapat tersebut Neale & Noertheraft (1990:290) mengungkapkan: organizational commitment ia the relative strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization. It usually includes three factors: (1) a strong belief in the organization’s goals and values; (2) a willingness to exert considerable effort on behalf of the organization; and (3) a strong desire to continue as an organizational member. Jadi komitmen tidak hanya sekedar keanggotaan karena komitmen meliputi sikap yang sangat menyenangkan pimpinan dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi memperlancar pencapaian tujuan.

Di samping pengertian di atas Charles O’Reilly (1989:9-25) memberikan definisi komitmen sebagai berikut: Organizational commitment is typically conceived of as individual’s psychological bond to the organization, including a sense of job involvement, loyality, and a belief in the values of organization. Komitmen organisasi secara umum dipahami sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi termasuk keterlibatan kerja, kesetiaan dan perasaan percaya terhadap nilai-nilai organisasi.

Dari paparan di atas nampak bahwa komitmen organisasi bukan hanya kesetiaan terhadap organisasi tetapi komitmen organisasi adalah suatu proses yang berjalan di mana para karyawan mengekspresikan kepedulian mereka terhadap organisasi juga kesuksesan dan prestasi kerja yang tinggi. Steven, Bayer dan Triel (1978:380) menyebutkan bahwa terdapat dua perbedaan konsepsi dalam pendekatan komitmen organisasi, yaitu pendekatan pertukaran (exchange approach) dan pendekatan psikologis (psychological approach). Selanjutnya dijelaskan bahwa: exchange approaches view commitment as an outcome of inducement/contribution transaction between the organization and member, with an explicit emphasize on the instrumentalities of membership as the primary determinant of the member’s accrual of advantage or disadvantage in the ongoing process of exchange.

Berpijak dari pendapat di atas berarti dalam pendekatan pertukaran, komitmen organisasi sangat ditentukan oleh pertukaran kontribusi yang dapat diberikan oleh organisasi terhadap anggota dan oleh anggota terhadap organisasi. Yang secara eksplisit anggota merupakan penentu utama komitmen, dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam proses pertukaran tersebut. Lebih lanjut di kemukakan oleh Steven, Bayer dan Triel (1978:381), bahwa “the greater the favorability of the exchange from the member’s perspective, the greater will be his or her commitment to the organization”. Jadi semakin besar kesesuaian pertukaran yang didasari pandangan anggota maka makin besar pula komitmen mereka terhadap organisasi.

Sementara itu, pendekatan psikologis lebih menekankan pada orientasi yang bersifat aktif dan positif dari anggota terhadap organisasi. Lebih jauh dikatakan oleh Morria dan Sherman (1981:514) bahwa: together, the psycological approaches to commitment depict a decidedly positive, high-intensity orientation toward the organization. In addition, they include, but go beyond, the hesiatancy-to leave component that has been the fundamental dimension represented in exchange-based measures in organizational commitment. Dalam pendekatan ini, antara lain didefinisikan oleh Sheldon, (1971:143 150) bahwa komitmen adalah “an attitude or an orientation toward the organization which links or attaches the identity of person to the organization”. Oleh karena itu sikap atau pandangan pada organisasi tempat kerja, nampaknya yang akan menghubungkan dan mengaitkan keadaan seseorang dengan organisasi.

Komitmen pada organisasi sebagai suatu sikap yang diambil karyawan, bagaimanapun juga akan menentukan perilakunya sebagai perwujudan dari sikap ( gambar 1). Konsekuensi prilaku yang muncul sebagai perwujudan tingginya tingkat komitmen karyawan pada organisasi antara lain: rendahnya tingkat pergantian karyawan,rendahnya tingkat kemangkiran, tingginya motivasi kerja, menyukai pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dan berusaha mencapai prestasi kerja yang tinggi.

Gambar 1. HUBUNGAN ANTARA NILAI, SIKAP DAN PERILAKU


Sumber : Keith Davia – William Frederick, “Business and Society”, 1984:75.

Selanjutnya yang dimaksud komitmen dalam penelitian ini adalah keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia melakukan usaha yang tinggi bagi pencapaian tujuan organisasi. Penjabaran dari konsep ini di adaptasi dari pendapat Lincoln (1989:89-106) dan Bashaw & Grant 1(1994:48) yaitu meliputi: kemauan karyawan, kesetiaan karyawan dan kebanggaan karyawan pada organisasi.
a. Kemauan
Kemauan karyawan untuk bekerja lebih giat dan dengan sekuat tenaga demi mencapai tujuan organisasi mencerminkan tingginya tingkat komitmen karyawan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam kamus besar Indonesia (1990:567), kemauan menunjuk pada keinginan karyawan untuk berbuat dan melaksanakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Dengan adanya kemauan dari para karyawan paling tidak dapat digunakan untuk memprediksi tingkah laku karyawan, dalam hal ini adalah tanggung jawabnya pada perusahaan (Neale & Northeraft, 1990:294). Di samping itu karyawan akan mempunyai perasaan ikut memiliki perusahaan sehingga mereka akan bertanggung jawab, baik untuk kemajuan dirinya sendiri maupun perusahaan. Mereka akan menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, tepat pada waktunya dan berani menanggung risiko dari keputusan yang diambilnya (Musanef, 1989:209).

b. Kesetiaan
Secara umum kesetiaan menunjuk kepada tekad dan kesanggupan mentaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang disertai dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab (Musanef, 1989:208). Karyawan yang mempunyai kesetiaan yang tinggi pada perusahaan tercermin dari sikap dan tingkah lakunya dalam melaksanakan tekad dan kesanggupan mereka terhadap apa yang sudah disepakati bersama.

c. Kebanggaan
Karyawan yang memiliki komitmen pada organisasi tentunya akan merasa bangga dapat bergabung dengan perusahaan. Sesuai dengan makna yang terdapat dalam kamus besar Indonesia, kebanggaan berkaitan dengan perasaan yang berkaitan dengan kepuasan diri atas suatu keunggulan (KBI, 1990:75). Dalam kerangka komitmen kebanggaan karyawan pada organisasi disebabkan antara lain karyawan merasa organisasi mampu memenuhi kebutuhan dan menyediakan sarana yang diperlukan. Di samping itu karyawan menyadari bahwa perusahaan mempunyai citra yang baik di masyarakat. Dan lebih jauh karyawan yakin bahwa perusahaan akan terus berkembang seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber:
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com


Hubungan Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kinerja Karyawan
Haryadi et.al. (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel-variabel kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian menunjukkan pula kepemimpinan atasan lebih cenderung pada pendekatan kepemimpinan transformasional, karena pimpinan memberikan motivasi dan contoh yang baik.

Sarosa, A (2004) mengemukakan bahwa semakin sering perilaku tipe kepemimpinan transformasional diterapkan akan membawa dampak positif secara signifikan terhadap peningkatan kualitas pemberdayaan psikologis bawahannya. Peran pemimpin transformasional yang memberikan perhatian terhadap individu, mampu mengarahkan pada visi dan misi organisasi, memberikan dukungan motivasi, dan menciptakan cara-cara baru dalam bekerja terbukti berperan efektif terhadap pemberdayaan psikologis bawahannya.

Udiati (200E) mengemukakan dalam hasil analisisnya bahwa gaya kepemimpinan transformasional seperti karisma, pengaruh idealis, motivasi inspirasional, rangsangan intelektual dan pertimbangan pada individu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan, karena pada saat bekerja juga kadang kala terpengaruh oleh gaya kepemimpinan transformasional yang ada di perusahaan.

Hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja karyawan yang diungkapkan pada hasil penelitian para ahli terhadap kepemimpinan transformasional dalam Suryanto (2006) adalah sebagai berikut :
1. Walumbwa, et.al. (2004), kepemimpinan transformasional berhubungan positif dengan komitmen, kinerja dan kepuasan kerja.
2. Ozaralli (2003), kepemimpinan transformasional berkontribusi terhadap prediksi adanya pemberdayaan pada bawahan. Adanya pemimpin transformasional mengakibatkan anggota tim mengalami pemberdayaan. Semakin mereka mengalami pemberdayaan, semakin efektif pula tim itu.
3. Boehnke & Bontis (2003), walau penerapan prinsip kepemimpinan transformasional perlu adaptasi untuk berbagai negara, secara universal gaya kepemimpinan transformasional membantu pemimpin memimpin karyawan lebih efektif dan menghasilkan kinerja terbaik.
4. Langbert & Friedman (2003), pemimpin transformasional memiliki kemampuan motivasi bawahan dan memungkinkan mereka mempertahankan prestasi dan mencapai perubahan yang revolusioner.
5. Sparks & Schenk (2001), kepemimpinan transformasional sungguh-sungguh dapat mentransformasi pengikut dengan mendorong mereka melihat tujuan yang lebih tinggi pada dunia kerja dan mendorong pencapaian kinerja yang terbaik.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Kotter (1992) yang melakukan penelitian terhadap 207 perusahaan dari 22 bidang usaha di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa (1) Budaya korporat mampu berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi jangka panjang.

Ditegaskan bahwa perusahaan yang memiliki budaya yang berorientasi pada pelanggan, pemegang saham dan karyawan serta kepemimpinan manajerial di semua tingkatan mampu mengungguli perusahaan yang tidak memiliki budaya semacam itu. (2) Budaya korporat bisa menjadi faktor kunci yang menentukan sukses atau gagalnya perusahaan pada masa yang akan datang. (3) Meski sulit diubah, budaya korporat bisa dibuat sedemikian rupa sehingga lebih mendukung kinerja.

Penelitian tentang hubungan budaya kerja dan kinerja juga dilakukan oleh Moeljono (2005), yang melakukan penelitian terhadap PT. Bank Rakyat Indonesia, menyimpulkan bahwa empat faktor budaya korporat (integritas, profesionalisme, keteladanan, penghargaan SDM) secara bersama-sama berpengaruh terhadap keenam indikator pelayanan produktivitas pelayanan, yang meliputi (1) etos kerja, (2) keselarasan dengan nasabah, (3) kemampuan menangani masalah-masalah nasabah, (4) kepuasan nasabah, (5) karyawan yang bermutu dan mampu diberdayakan, dan (6) peningkatan mutu, jasa dan proses dan pengaruh tersebut sangat signifikan. Semakin efektif budaya korporat diterapkan, akan semakin meningkatkan produktivitas pelayanan nasabah.

Zaman (2002) dalam hasil analisisnya menunjukkan bahwa keseluruhan variabel budaya organisasi (inovasi, kemantapan, kepedulian, orientasi hasil, perilaku kepemimpinan, orientasi hasil dan orientasi tim) baik secara bersama-sama maupun parsial memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.

Hal yang sama dikatakan pada hasil penelitian Chatman dan Bersade (1997) dalam Sutikno (2006) yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi yang kuat membantu kinerja karyawan dan kinerja perusahaan, yang disebabkan (1) menciptakan sesuatu yang luar biasa dalam diri karyawan, dan (2) memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi yang formal dan kaku, yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang



Kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Bahkan menurut Luthan (2005) dan Robbins (2003), kepemimpinan transformasional termasuk dalam teori kepemimpinan modern. Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass dalam Pidekso (2001). Menurut Burns untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kepemimpinan transformasional maka perlu dipertentangkan dengan Kepemimpinan Transaksional.
Kepemimpinan Transaksional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang menekankan pada suatu proses pertukaran (exchange process) antara pemimpin dan bawahan, dimana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melaksanakan perintah-perintah pemimpin. Menurut Robbins (2003) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi para pengikut mereka menuju ke sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Di samping itu pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggung jawab mereka, papa pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sesaran pada tingkatan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru demikian Locke (1997) dalam Pidekso (2001).
Burns (1998) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggung jawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui pemimpinnya. Dimensi perilaku kepemimpinan transformasional menuntut kesadaran pemimpin tentang visi, kepercayaan diri, dan kekuatan untuk bertahan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai benar dan baik, bukan sekedar untuk mendapatkan popularitas dan kemapanan. Dari aspek intelektual, pemimpin transformasional tidak puas hanya dengan pemecahan masalah yang bersifat parsial atau menerima keadaan status quo atau melakukan seperti yang biasa dilakukan. Mereka suka mencari cara-cara baru untuk mendapatkan manfaat yang maksimum dan peluang meskipun dengan resiko yang tinggi atau berat. Dalam berpikir mereka lebih proaktif dibanding reaktif, dalam gagasan mereka lebih inovatif dan kreatif, dalam ideologi mereka lebih radikal dan reaksioner dibanding konservatif, serta mereka tidak mengalami hambatan berpikir dalam upayanya mencari pemecahan masalah.
Bass dan Avolio (1993) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi atau aspek yang disebut sebagai “the Four l’s”, yaitu :
1. Idealized Influence – Charisma.(Pengaruh Ideal-Kharisma)
Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan orang lain dari kepentingan sendiri. Sebagai pemimpin perusahaan ia bersedia memberikan pengorbanan untuk kepentingan perusahaan. Ia menimbulkan kesan pada bawahannya bahwa ia memiliki keahlian untuk melakukan tugas pekerjaannya, sehingga patut dihargai. Ia memberikan wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan dada para bawahannya.
2. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasi)
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara lain dengan menentukan standar-standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai. Bawahan merasa mampu melakukan tugas pekerjaannya, mampu memberikan berbagai macam gagasan. Mereka merasa diberikan inspirasi oleh pemimpinnya.
3. Intellectual S:itnulation (Rangsangan Intelektual)
Pemimpin mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
4. Individual Consideration (Pertimbangan Individu)
Pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dari secara khusus rnau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Selain itu memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi. Pemimpin menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat melakukan pekerjaannya, dapat memberi sumbangan yang berarti untuk tercapainya tujuan kelompok.
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepemimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang kharismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologinya berbeda namun fenomena-fenomena kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) dalam Daryanto (2005) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Buthchatsky (1996) dalam Daryanto (2005) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut penerobos karena pemimpin semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan memperbaiki kembali karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perhatikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjaui kembali proses dan nilai-nilai organisasi agar Iebih baik dan Iebih ralevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat dan mencoba merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang