Arsip

Intelegensi IQ EQ SQ ESQ

Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan. Sementara itu bahwa interaksi social dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.

Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
Menurut Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif.

Piaget menemukan bahwa penggunaan operasi formal bergantung pada keakraban dengan daerah subjek tertentu. Apabila siswa akrab dengan suatu objek tertentu, lebih besar kemungkinannya menggunakan operasi formal. Menurut Piaget perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Berikut ini adalah implikasi penting dalam model pembelajaran dari teori Piaget:
(a) Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman sesuai dengan yang dimaksud.

(b) Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas Piaget, penyajikan pengetahuan jadi (ready-made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu (discovery maupun inquiry) melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab itu guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. Menerapkan teori Piaget berarti dalam pembelajaran fisika banyak menggunakan penyelidikan.

(c) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil daripada bentuk kelas yang utuh.

Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir formal (Trianto, 2008).

Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Pengertian emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

Pada dasarnya dalam kamus besar Bahasa Indonesia Tingkat adalah susunan yang berlapis-lapis atau berlenggok-lenggok seperti lenggek rumah, atau suatu kualitas atau keadaan lebih tinggi atau lebih rendah dalam hubungan dengan titik tertentu (Depdikbud, 1994). Sedangkan Kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi seperti, kepandaian, ketajaman pikiran. Sejalan dengan itu Binet (dalam (Stein, 2003) menyatakan bahwa kecerdasan adalah sebuah proses terpadu yang melibatkan pertimbangan, pemecahan masalah dan penalaran. Dalam proses pembelajaran siswa di sekolah banyak aspek yang berperan dan ikut memberikan sumbangan terhadap keberhasilan penularan kemampuan yang berupa ilmu pengetahuan yang bersifat teoritis dan ketrampilan yang bersifat praktis.
Kemampuan ilmu pengetahuan berhubungan dengan kemampuan intelegensi atau daya jiwa (ingatan, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya). Kemampuan ketrampilan berhubungan dengan aktifitas fisik, melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu dengan segala kesadarannya. Tingkat kecerdasan siswa merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Bahri (2000) yang menyatakan bahwa:
“Intelegensi merupakan daya untuk menyesuaikan diri secara mudah dengan keadaan baru dengan menggunakan bahan-bahan pikiran yang ada menurut tujuannya”.
Selanjutnya Whitherington (1984) mengatakan bahwa:
“Seorang dikatakan integensi apabila orang yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan cepat, tanpa mengalami masalah”.
Berdasar kedua pendapat di atas, kemampuan untuk menyesuaikan diri merupakan inti dari intelegensi. Sedangkan perbuatan intelegen bercirikan kecepatan, membutuhkan pemusatan perhatian dan menghindarkan perasaan yang mengganggu jalannya pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Kemudian Djamarah (2000) mengemukakan bahwa intelegensi merupakan:
a. The ability to meet and adapt to novel situations quickly and effectively.
b. The ability to utilize abstract can cepts effectively
c. The ability to grasp relationship and to quickly
Jadi dapat dipahami intelegensi adalah kemampuan untuk memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan cepat dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif dan kemampuan untuk memahami hubungan dengan cepat.
Untuk mengetahui tingkat kecerdasan (tinggi-rendahnya intelegensi) seseorang, dikembangkan instrumen yang dikenal dengan “Tes Intelegensi” dengan menggunakan pedoman perbandingan tetap antara umur logis dengan umur mental seseorang. Dengan ini intelegensi ditunjukkan dengan perbandingan kecerdasan atau disebut dengan istilah “Intelligence Quotient” yang biasa disebut IQ. IQ adalah ukuran kemampuan intelektual, logika, dan konsep seseorang. Dengan demikian, hal ini berkaitan dengan ketrampilan berbicara, kesadaran akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak.
IQ mengukur kecepatan kita untuk mempelajari hal-hal baru, memusatkan perhatian pada aneka tugas dan latihan, menyimpan dan mengingat kembali informasi objektif, terlibat dalam proses berpikir, bekerja dengan angka, berpikir abstrak dan analitis, serta memecahkan permasalahan dengan menerapkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Jika IQ kita tinggi, angka rata-ratanya 100, kita memiliki modal yang sangat baik untuk lulus dari semua jenis ujian dengan gemilang, dan (bukan kebetulan) meraih nilai yang baik dalam ujian. Sejalan dengan pengertian di atas Salovey dan Mayer (dalam Stein, 2003) menyatakan:
“IQ adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual”.
Berhubungan dengan intelegensi ini, dampak perkembangan selanjutnya banyak para ahli membuat klasifikasi intelegensi manusia. Gairison (dalam Azwar, 1996) mengklasifikasikan tingkat kecerdasan pada Tabel 2.1. Sedangkan Wart dan Marquis (1995) telah mengemukakan klasifikasi intelegensi pada tabel berikut:

Tabel 1. Distribusi IQ untuk Kelompok Standarisasi Tes Binet

IQ

Presentasse

Klasifikasi

1

2

3

160-169

0,03

Sangat superior

150-139

0,20

140-149

1,10

130-139

3,10

Superior

120-129

8,20

110-119

18,10

Rata-rata tinggi

100-109

23,50

Rata-rata/normal

90-99

13,00

80-89

14,50

Rata-rata rendah

70-79

5,60

Batas lemah

60-69

2,00

Lemah mental

50-59

0,40

40-49

0,20

30-39

0,03

Sumber: Gairison (dalam Azwar 1996).

Tabel 2. Distribusi IQ untuk Kelompok Standarisasi Tes Baylley

Kelas Interval Skor IQ

Klasifikasi

140 – ke atas

Genius (luar biasa)

110 – 139

Very superior (amat cerdas)

110 – 119

Superior (cerdas)

90 – 109

Normal (overage)

80 – 89

Dull (bodoh)

70 – 79

Border line (batas potensi)

50 – 69

Morrons (debiel)

30 – 49

Embicile (embisil)

Di bawah 30

Idiot

Sumber: Sumanto (1994)

Melihat data hasil intelegensi, kita dapat menggunakan tabel klasifikasi di atas sebagai acuan dasar untuk mengetahui tingkat kecerdasan siswa, selanjutnya dapat mengelompokkan kemampuan intelegensi siswa sebagai data penelitian. Meskipun masih ada beberapa psikolog meragukan hasil tes intelegensi karena memandang alat tes atau alat ukur yang digunakan untuk mengetahui IQ seseorang belum cermat, maksudnya tes untuk mengukur intelegensi akademik dan tes untuk mengukur intelegensi praktis seharusnya menggunakan alat ukur yang berbeda. Namun hasil tes itu cukup untuk memberikan gambaran pada kita kemampuan IQ siswa, ditinjau dari segi kemampuan akademik saat ini.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tingkat intelegensi siswa yang satu dengan siswa yang lain berbeda-beda. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi seseorang sehingga terdapat perbedaan intelegensi seseorang dengan yang lain adalah:
a. Pembawaan, yaitu sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir, kenyataan menunjukkan ada siswa yang pintar dan ada siswa yang bodoh, meskipun menerima pelajaran yang sama.
b. Kematangan, yaitu kematangan yang berupa fisik maupun psikis, dapat dikatakan matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsi masing-masing.
c. Pembentukan, ialah segala keadaan di luar diri siswa yang mempengaruhi perkembangan intelegensinya, disengaja atau tidak.
d. Minat dan pembawaan yang leka, yakni dorongan-dorongan yang menuntun manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
e. Kebebasan, artinya manusia bebas memilih metode atau bebas memilih masalah sesuai dengan kebutuhan (Ngalim, 1990).
Dengan demikian kita sebagai pendidik bisa menyadari akan adanya perbedaan-perbedaan tersebut dan dapat memilih metode-metode yang tepat dalam menyampaikan pelajaran. Semua faktor di atas bersangkut paut menjadi satu. Untuk menentukan seseorang berintelegen atau tidak, tidak bisa berpedoman pada salah satu faktor saja, sebab intelegensi adalah faktor total. Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa:
a. Intelegensi adalah merupakan faktor total, menyangkut berbagai macam daya jiwa yang erat.
b. Intelegensi hanya dapat diketahui dari tingkah laku atau perbuatan yang nampak melalui “kelakuan intelegensinya”.
c. Intelegensi bukan hanya kemampuan yang dibawa sejak lahir saja, tetapi faktor lingkungan dan faktor pendidikan ikut berperan.
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru dan dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mencapainya.

Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Intelegensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau belajar dari pengalaman. Garret (1990) mendefinisikan intelegensi adalah kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah dengan menggunakan simbol-simbol. Wasty (1990) menyatakan bahwa “intelegensi ialah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah”. Sedangkan Heindenrich dalam Wasty (1990) menyatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah-masalah.
Pendapat lain menyatakan intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya Ngalim (1997). Dari beberapa pendapat diatas. intelegensi dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif .

Teori Dasar Intelegensi
Beberapa pendapat yang mendasari tentang pengertian intelegensi secara detail, akan dipaparkan sebagai berikut:
a. Teori Uni Faktor atau Teori Kapasitas Umum
Teori William Stern ini hanya berisi satu faktor, yaitu kapasitas umum (G). G yang dimiliki secara natural dapat memecahkan multi problem. Semua orang lahir dengan jumlah G yang berbeda, dan lingkungan seseorang akan menentukan aktivitas yang dianggapnya paling baik (Hendyat, 2002).
b. Teori Dua Faktor
Teori Charles Spearman ini berisi dua faktor,yaitu kapastias umum (g) yang berfungsi dalam setiap tingkah laku mental individu dan intelegensi khusus (s) menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi permasalahan. Orang yang memiliki jumlah serta jenis faktor G yang luas akan memiliki kapasatas untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Wasty, 1990).
c. Teori Sampling
Menurut teori Godfrey H. Thomson ini, intelegensi merupakan berbagai kemampuan sampel. Manusia menguasai berbagai bidang pengalaman, masing-masing bidang hanya dapat dikuasai sebagian saja, dan ini mencerminkan kemampuan mental manusia yang terbatas (Wasty, 1990).
d. Teori Kemampuan Mental Primer atau Teori Multi Faktor
Thurstone (dalam Hidayat, 2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor intelegensi sebagai kemampuan mental primer yang terdiri atas kemampuan: verbal, numerikal, ruang, memori, penalaran, penguasaan kata, dan kecepatan perseptual. Masing-masing faktor diuraikan sebagai berikut:
1) Verbal, yaitu kemampuan yang menyangkut pengertian terhadap ide-ide yang diekspresikan dalam bentuk kata.
2) Numerikal, yaitu kemampuan yang digunakan seseorang apabila menambahkan, mengurangkan, mengalikan dan membagi angka-angka.
3) Ruang, kemampuan ini berkaitan dengan ketepatan menafsirkan ukuran terhadap obyek sesuai dengan perbandingan dimensinya.
4) Memori, kemampuan kecakapan memproduksi pengalaman masa lalu dalam proses mental.
5) Penalaran, yaitu kecakapan mengadakan analisa terhadap obyek pikir yang terjadi melalui proses mental.
6) Penguasaan kata, kemampuan untuk dapat berbicara dan membaca dengan mudah.
7) Kecepatan perseptual, kemampuan untuk mengambil kesan sesaat terhadap obyek pada saat seseorang mengadakan pengamatan.
Intelegensi seseorang dapat berkembang dengan baik, apabila dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Pembawaan, yaitu faktor yang ditentukan oleh sifat-sfiat yang dibawa sejak lahir.
b. Kematangan, yaitu faktor yang berhubungan erat dengan umur.
c. Pembentukan, yaitu segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
d. Minat, yaitu faktor yang mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
e. Kebebasan, yaitu faktor yang membuat manusia dapat memilih cara-cara tertentu dalam memecahkan masalah.
Kelima faktor tersebut diatas saling terkait didalam menentukan intelegen atau tidaknya seseorang. Sehingga kita tidak dapat hanya berpedoman pada salah satu faktor saja, melainkan pada keseluruhan faktor dalam menentukan perbuatan intelegen seseorang.
Hendyat (2002) mengemukakan bahwa pengukuran intelegensi dapat dilakukan dengan cara melakukan tes intelegensi yaitu untuk mengukur kemampuan terutama tingkah laku yang diharapkan pada saat tes itu dibuat dan laksanakan. Pengukuran intelegensi pertama kali dilakukan oleh Binet dan Simon, dikenal dengan nama tes Binet-Simon. Pada tes ini memperhatikan dua hal, yaitu:
a. Umur kronologis (cronologis age disingkat CA), yaitu umur seseorang yang ditunjukkan dengan kelahirannya.
b. Umur mental (mental age disingkat MA) yaitu umur kecerdasan yang ditunjukkan oleh hasil tes kemampuan akademik.
Untuk mengukur tingkat intelegensi (Intelegence Quotien disingkat IQ) ditunjukkan dengan perbandingan umur mental dengan umur kronologis. Perbandingan kecerdasan ini secara matematis dapat dituliskan:
IQ = MA/CA
Untuk memudahkan perhitungan, orang mengalikannya dengan 100% dan kemudian meniadakan %-nya. Sehingga didapat rumus:
IQ = MA/CA x 100
Penilaian atau skor tes diperoleh dari hasil pengerjaan tes pada periode tertentu. Dan skor tes hanyalah menggambarkan keadaan sesuai dengan lingkup materi yang dimasukkan dalam tes itu.
Berpijak dari pengertian intelegensi diatas, maka jelaslah bahwa intelegensi sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan belajar siswa. Hendyat (2002) mengemukakan bahwa pada umumnya skor tes intelegensi memiliki korelasi yang tinggi dengan prestasi akademik di sekolah. Pendapat di atas dibenarkan oleh Wasty (1990) dari hasil penelitiannya, bahwa IQ seseorang berhubungan dengan tingkat pendidikannya.
Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula skor IQnya. Meskipun intelegensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya siswa dalam belajar, namun pendapat-pendapat serta hasil penelitian tersebut di atas cukup untuk menunjukkan bahwa intelegensi berpengaruh terhadap prestasi siswa.

Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com


Metode yang dipergunakan untuk mengukur suatu intelegensi seseorang adalah metode tes yang disebut mengemukakan, bahwa penggunaan tes IQ ini dimaksudkan untuk memperkirakan atau menilai kapasitas seseorang untuk belajar (Witherington, 1982) dan hasil tes intelegensi dapat digunakan untuk memprediksi hasil belajar. Dalam penelitian ini pengukuran IQ dilakukan dengan menggunakan tes Progressive Matrices (PM). Tes PM merupakan tes sangat populer dalam pengukuran intelegensi. Tes ini kemudian dikembangkan oleh Raven dari Inggris pada tahun 1938. Item-item tes PM digambarkan sebagai berikut ini (Nurkancana, 1983).

Dalam membuat rumus pengukuran intelegensi Binet menggunakan pedoman selisih tetap umur mental (mental age) selanjutnya disingkat MA dengan unsur kronologis (“chronological age” selanjutnya disingkat CA). Individu dinyatakan normal jika selisih MA dan CA sebesar 3 tahun. Tetapi cara ini kemudian diperbaiki lagi tahun 1911 dengan menggunakan perbandingan tetap antara umur kronologis dengan umur mental. Dengan demikian tingkat intelegensi ditunjukkan dengan perbandingan kecerdasan yang disebut dengan istilah Intelegensi Quotient yang biasa disingkat IQ. Oleh karena itu IQ dapat dirumuskan sebagai IQ = MA/CA (Soemanto, 1984). Hasil yang diperoleh dari rumus diatas sering memberikan bilangan pecahan. Kemudian Terman pada tahun 1911 mengalikannya dengan 100 sehingga diperoleh bilangan bulat. Dengan demikian rumus IQ = MA/Ca x 100.

Pada lingkungan sekolah, tujuan pengukuran psikologis dimaksudkan untuk mengetahui kecerdasan umum dan bakat penjurusan Fisika, Biologi, Sosial dan Budaya. Sedangkan aspek yang diungkapkan meliputi berikut ini:

Gambar 1. Contoh tes Progressive Matrices

a. Kecerdasan umum :
Mengungkapkan kemampuan berfikir dan memecahkan masalah secara umum.
b. Bakat
1. Logical Verbal : Mengungkapkan kemampuan berfikir untuk memahami dan memecahkan masalah secara logis dengan menggunakan bahas.
2. Arithematic : mengungkapkan kemampuan berfikir yang berhubungan dengan angka dan memperhitungkan secara cepat dan tepat hal-hal yang bersifat kuantitatif.
3. Pandang ruang : mengungkapkan kemampuan berfikir untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pandang ruang dan mengimajinasikan bentuk akhir suatu obyek dari rancangan yang sudah ditentukan.
4. Mechanical : mengungkapkan kemampuan berfikir untuk masalah yang berhubungan dengan prinsip dasar dan gerakan-gerakan mekanis.
5. Penalaran : mengungkapkan kemampuan berfikir untuk memecahkan masalah yang bersifat abstrak dan hubungan antara dua hal dengan mempergunakan tanda-tanda yang tidak terkait oleh bahasa.
6. Dasar ilmu pasti : mengungkapkan kemampuan berfikir untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan persamaan dan perbedaan antara obyek-obyek atau simbol-simbol secara tepat dan teliti.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com http://grosirlaptop.blogspot.com


Intelegensi memainkan peranan yang sangat besar khususnya pengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi yang dicapai oleh peserta didik di lembaga pendidikan. Kenyataan ini semakin nampak dalam prestasi pada bidang ilmu yang menuntut banyak berpikir, salah satunya adalah bidang matematika. Meskipun peranan intelegensi semakin besar namun faktor-faktor yang lain tetap berpengaruh juga. Maka kita tidak boleh mengatakan bahwa prestasi disekolah kurang, pastilah karena taraf intelegensinya juga kurang (Winkel, 1984).

Mengenai intelegensi Slameto (1987) juga berpendapat bahwa intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar, intelegensi siswa akan membantu pengajar menentukan apakah siswa mampu mengikuti pelajaran yang telah diberikan. Meskipun begitu prestasi siswa tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat kemampuan intelektual yang dimiliki sikap. Faktor-faktor lain motivasi, sikap, kesehatan fisik, kesehatan mental dan sebagainya perlu dipertimbangkan (Slameto, 1987).

Perbedaan individu dalam tingkat kecerdasan atau intelegensi ditunjukkan dari hasil tes IQ. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi sehingga terdapat perbedaan intelegensi seseorang dengan yang lain adalah: a) Pembawaan yang ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri yang dapat dibawa sejak lahir; b) Kematangan yaitu tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. c) Minat dan pembawaan yang khas, minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan yang merupakan dorongan bagi perbuatan itu. d) Pembentukan yaitu segala keadaan luar diri seseorang yang mempengaruhi intelegensi. Dapat dibedakan pembentukan sengaja (seperti dilakukan di sekolah-sekolah). e) Kebebasan yang berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode tertentu dalam memecahkan masalah. Manusia mempunyai kebebasan sesuai dengan kebutuhan.

Dijelaskan lebih lanjut semua faktor tersebut bersangkut paut satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi seorang anak tidak dapat hanya berpedoman pada salah satu faktor tersebut diatas karena intelegensi merupakan hal yang menyeluruh. Keseluruhan pribadi dan lingkungannya ikut menentukan perbuatan seseorang (Purwanto, 1988).

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com http://grosirlaptop.blogspot.com

Sadli (1986) mendefinisikan intelegensi yang hampir sama dengan pendapat Bischof, yaitu intelegensi merupakan keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah menguasai lingkungan secara efektif. Pendapat lain dikemukakan oleh Soemanto (1984) bahwa intelegensi adalah kesempurnaan perbuatan kecekatan kegiatan yang efisien. Dengan kata lain intelegensi menunjukkan suatu kualitas perbuatan atau tingkah laku individu. Kualitas dalam hal ini menyatakan kecepatan, kemudahan serta ketepatan dalam melakukan perbuatan atau tindakan.

Intelegensi berkaitan dengan kecakapan untuk belajar dan memanfaatkan apa yang dipelajari dalam usaha menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah. Belajar matematika sebagaimana dikemukakan oleh Dienes (dalam Hadejo, 1979) melibatkan struktur hirarki dari konsep-konsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah dibentuk sebelumnya, dimana suatu konsep matematika tidak mungkin dikuasai dengan sempurna kalau konsep yang melandasinya belum dipahami.

Dari beberapa pengertian intelegensi yang telah diuraikan diatas dapat dikatakan bahwa intelegensi merupakan kemampuan dasar seseorang untuk belajar dari pengalaman guna menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi dengan cepat, tepat dan efektif. Seseorang yang memiliki intelegensi yang lebih tinggi akan mampu berbuat lebih banyak dengan usaha yang relatif lebih sedikit daripada orang yang intelegensinya lebih rendah.

Dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar seseorang yang memiliki intelegensi lebih tinggi diharapkan mampu belajar lebih banyak, mampu menyesuaikan tugas-tugas belajarnya lebih cepat daripada orang yang memiliki intelegensi yang lebih rendah. Sedangkan menurut Purwanto (1988) intelegensi yang rendah menghambat usaha seseorang untuk maju dan berkembang, meskipun orang itu ulet dan tekun dalam usahanya.

Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang